Mazmur 45 merupakan nyanyian pada waktu pernikahan raja. Dalam nyanyian tersebut, pemazmur mengingatkan sang raja, dalam ayat 4-5: ”Ikatlah pedangmu pada pinggang, hai pahlawan, dalam keagunganmu dan semarakmu! Dalam semarakmu itu majulah demi kebenaran, perikemanusiaan dan keadilan! Biarlah tangan kananmu mengajarkan engkau perbuatan-perbuatan yang dahsyat!”
Jelaslah di sini, sang raja tak boleh bertindak semaunya sendiri. Tindakan seorang raja semestinya demi kebenaran, perikemanusiaan, dan keadilan. Sebab, ini jugalah yang ditekankan pemazmur pada ayat 8-9: ”Takhtamu kepunyaan Allah, tetap untuk seterusnya dan selamanya, dan tongkat kerajaanmu adalah tongkat kebenaran. Engkau mencintai keadilan dan membenci kefasikan; sebab itu Allah, Allahmu, telah mengurapi engkau dengan minyak sebagai tanda kesukaan, melebihi teman-teman sekutumu.”
Sehebat-hebatnya raja, bangsa Israel memahami bahwa takhta adalah milik Allah yang dipercayakan kepada orang yang dipilih Allah sendiri. Allah berkuasa mengangkat dan menurunkan seorang raja. Sehingga penting bagi raja untuk tetap menjalankan tugasnya sesuai kewenangan yang dikaruniakan Allah kepadanya. Dan karena raja adalah pemimpin tertinggi, maka panggilan utamanya adalah menjadi teladan bagi rakyatnya.
Kita memang bukan raja, tetapi kita pun telah menerima pengurapan Allah saat dibaptis menjadi Kristen. ”Kristen” bukanlah predikat kosong; di dalamnya terdapat panggilan untuk mengikut Kristus sesehari, juga di tengah pandemi ini. Dan panggilan seorang Kristen—tak beda dengan panggilan seorang raja di Israel—adalah ”mencintai keadilan dan membenci kefasikan”. Berkait keadilan, kita, menurut Pramoedya Ananta Toer, ”harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan”.
SMaNGaT,
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional