”Nyanyikanlah mazmur bagi TUHAN, hai orang-orang yang dikasihi-Nya, dan persembahkanlah syukur kepada nama-Nya yang kudus!” (Mzm. 30:4). Demikianlah ajakan Daud kepada orang-orang yang merasa dikasihi Allah.
Harus diakui, kasih memang berkait dengan perasaan. Bukan seberapa banyak kita menerima kasih, tetapi apakah kita merasa dikasihi? Jika kita merasa dikasihi Allah, maka menyanyikan mazmur bagi-Nya merupakan tindakan wajar. Yang tak wajar, merasa dikasihi, namun enggan meresponsnya dalam syukur. Itu namanya enggak tahu diri.
Menarik pula diperhatikan, Daud mengajak umat menjadikan syukur sebagai persembahan. Di sini Allah memang tidak bicara soal harta. Persembahan tidak melulu soal uang. Kata dasar ”persembahan” adalah ”sembah”. Apalah artinya persembahan tanpa sikap hati menyembah? Karena itu, ucapan syukur pun sejatinya mesti tulus, tanpa basa-basi.
Daud punya alasan untuk itu. Dalam Mazmur 30:5 Daud menyatakan: ”Sebab sesaat saja Ia murka, tetapi seumur hidup Ia murah hati; sepanjang malam ada tangisan, menjelang pagi terdengar sorak-sorai.” Daud agaknya sengaja membandingkan antara kata ”sesaat” dan frasa ”seumur hidup”. Itu berarti jika dibandingkan dengan kemurahhatian Allah, maka kesengsaraan kita boleh dibilang tak berarti, hanya sebentar.
Dan semua penderitaan pasti akan berakhir. Meski sepanjang malam ada tangisan, waktu tetap bergulir dan akhirnya malam pun berganti pagi. Dengan kata lain, meminjam judul lagu Eros Jarot, badai pasti berlalu.
Karena itu, di tengah pandemi Covid-19, marilah kita bersyukur! Bersyukur bahwa kita masih diberi nafas hidup. Kehidupan, apa pun keadaannya, berarti masih ada kesempatan bagi kita untuk melakukan sesuatu.
Mungkin baik, sebagai ucapan syukur, kita berikhtiar dengan menyanyikan lagu ini: ”Hidup ini adalah kesempatan. Hidup ini untuk melayani Tuhan. Jangan sia-siakan waktu yang Tuhan b’ri. Hidup ini harus jadi berkat.”
SMaNGaT,
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional