(Ayb. 39:12-15)
”Apakah lembu hutan mau takluk kepadamu, atau bermalam dekat palunganmu? Dapatkah engkau memaksa lembu hutan mengikuti alur bajak dengan keluan, atau apakah ia akan menyisir tanah lembah mengikuti engkau? Percayakah engkau kepadanya, karena kekuatannya sangat besar? Atau kauserahkankah kepadanya pekerjaanmu yang berat? Apakah engkau menaruh kepercayaan kepadanya, bahwa ia akan membawa pulang hasil tanahmu, dan mengumpulkannya di tempat pengirikanmu?”
Serangkaian pertanyaan Allah kepada Ayub, berkait dengan lembu hutan ini, dengan mudah dijawab tidak. Sehebat-hebatnya Ayub, tentu sulit bagi dia menaklukkan lembu hutan. Lagi pula, mengapa pula mesti menaklukkan lembu hutan. Bukankah di awal Kitab Ayub diceritakan bahwa dia memiliki 500 pasang lembu? Buat apa dia menjinakkan lembu hutan! Bahkan, meski Ayub memberikan kepada lembu hutan itu makanan, tak mudah bagi Ayub untuk membuatnya menurut. Sesungguhnya, hanya Allahlah yang mampu menaklukkan lembu hutan.
Menarik disimak, setelah bicara soal penaklukkan lembu hutan, Allah membicarakan soal kepercayaan. Apakah Ayub percaya pada lembu hutan? Ya, siapa pula yang percaya pada lembu hutan. Kita tahu berapa hewan yang telah dijinakkan akan pulang sendiri ke kandang. Misalnya, ayam. Pada sore hari biasanya dia akan kembali ke kandangnya. Namun, bagaimana dengan lembu hutan? Jelaslah Ayub tak perlu memercayainya. Ngapain pula percaya pada lembu hutan? Lembu yang telah dijinakkan saja perlu diawasi!
Kelihatannya Allah hendak menegaskan bahwa Dia memercayainya. Allah juga percaya kepada manusia. Dia juga percaya kepada Ayub. Dia percaya bahwa Ayub—meski merasa diabaikan dan baper—tak akan menyangkal-Nya.
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional