(Pengkhotbah 4:1-6)
Berkait kuasa, sang pemikir menyatakan: ”Lagi aku melihat segala penindasan yang terjadi di bawah matahari, dan lihatlah, air mata orang-orang yang ditindas dan tak ada yang menghibur mereka, karena di fihak orang-orang yang menindas ada kekuasaan.”
Inilah kenyataan yang dengan tepat ditekankan juga oleh Lord Acton: ”Kuasa cenderung menyimpang, dan kuasa mutlak pasti menyimpang.” Ya, orang yang berkuasa cenderung mudah menggunakan kuasanya untuk menindas orang lain. Inilah yang menyebabkan budaya korupsi tumbuh subur.
Sehingga sang pemikir berkesimpulan pada ayat 2-3: ”Oleh sebab itu aku menganggap orang-orang mati, yang sudah lama meninggal, lebih bahagia dari pada orang-orang hidup, yang sekarang masih hidup. Tetapi yang lebih bahagia dari pada kedua-duanya itu kuanggap orang yang belum ada, yang belum melihat perbuatan jahat, yang terjadi di bawah matahari.” Dia berpendapat, kematian merupakan jalan terbaik agar tidak ditindas orang lain.
Orang besar cenderung menindas yang kecil, sehingga tak aneh jika orang kecil pun kadang bermimpi menjadi besar agar juga mampu menindas yang kecil. Sebenarnya, panggilan orang besar adalah melindungi orang kecil, tanpa syarat.
Pada titik ini, pendidikan antikorupsi perlu masuk kurikulum pendidikan bangsa. Sama seperti pendidikan pada umumnya harus berawal dari rumah. Dan almarhum Bing Slamet telah menciptakan lagu untuk itu: ”Waktu hujan turun rintik perlahan/bintang pun menyepi awan menebal./Kutimang Si Buyung belaian sayang/anakku seorang tidurlah tidur./Ibu mendoa ayah menjaga/agar kau kelak jujur melangkah./Jangan engkau lupa tanah pusaka/tanah tumpah darah Indonesia.”
Bing Slamet agaknya paham, jujur tak hanya berkait kata, tetapi juga tindakan. Jujur melangkah. Inilah yang harus kita kumandangkan lebih keras pada hari-hari ini di samping pekik: Merdeka!
SMaNGaT,
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional
Foto: Steve Halama