Posted on Tinggalkan komentar

Ketidakadilan

(Pengkhotbah 3:16-22)

Dalam ayat 16 sang pemikir mengarahkan hati dan pikirannya ke pengadilan. Katanya bernada keluhan, ”Di tempat pengadilan, di situ pun terdapat ketidakadilan, dan di tempat keadilan, di situ pun terdapat ketidakadilan.”

Keadilan tempatnya mestinya di pengadilan. Namun, kadang—juga sampai hari ini di Indonesia—tak mudah mencari keadilan di ruang-ruang pengadilan. Meski ada upaya pemerintah untuk meningkatkan gaji bagi penegak hukum, kita masih menyaksikan di sana-sini bahwa keadilan masih menjadi barang langka.

Kenyataan ini sebenarnya hanya menegaskan kata-kata sang pemikir dalam ayat 18: ”Allah hendak menguji mereka dan memperlihatkan kepada mereka bahwa mereka hanyalah binatang.” Kata ”menguji” di sini bisa diartikan dengan “menyingkapkan”. Itu berarti, Allah memperlihatkan bahwa manusia yang menjalankan ketidakadilan memang tak beda dari binatang.

Namun demikian, jelaslah bahwa Allah adalah Mahaadil, yang akan mengadili setiap orang. Dan semua yang tidak adil nasibnya sama halnya dengan binatang. Akan tetapi, inilah Injil itu, Allah tidak menghendaki manusia mengalami kematian kekal. Allah ingin manusia bersekutu dengan Dia di dalam kekekalan.

Caranya? Kita bisa belajar bersyukur! Menarik disimak juga kesimpulan sang pemikir pada ayat 22: ”Aku melihat bahwa tidak ada yang lebih baik bagi manusia dari pada bergembira dalam pekerjaannya, sebab itu adalah bahagiannya.”

Ya, bergembira dalam pekerjaannya. Sebab tak sedikit orang yang mengeluh dengan pekerjaannya. Atau, ada yang bergembira dengan pekerjaan orang lain. Kedua hal ini bisa menjadi pangkal ketidakadilan.

Rasa syukur atas pekerjaan sendiri sejatinya membedakan manusia dari binatang. Dan ini jugalah panggilan kita sebagai manusia. Itulah kado bagi negeri pada 75 tahun kemerdekaannya.

SMaNGaT,

Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional

Foto: Istimewa

Bagikan:
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *