(Luk. 2:15-20)
”Marilah kita pergi ke Betlehem untuk melihat apa yang terjadi di sana, seperti yang diberitahukan Tuhan kepada kita” (Luk. 2:15).
Demikianlah para gembala itu berkata-kata seorang kepada yang lain. Apa yang menarik dari kalimat ini? Tampaknya para gembala itu berikhtiar melakukan klarifikasi. Mereka tidak langsung menyebarkan berita itu, namun melakukan klarifikasi.
Memang pada masa itu, teknologi komuniasi tak secanggih sekarang. Akan tetapi, jika menyebarkan berita kelahiran Juru Selamat tanpa melihat Juru Selamat dengan mata kepala mereka sendiri, maka mereka akan menjadi bahan tertawaan orang. Dan bisa jadi untuk selanjutnya mereka tidak dipercaya orang karena telah menyebarkan hoaks—sudah masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia—kabar bohong. Dan lebih parah lagi, jika ada yang percaya, maka akan semakin banyak orang yang disesatkan.
Untunglah mereka tidak melakukannya. Untunglah para gembala itu merasa perlu klarifikasi. Dan menarik pula disimak catatan Lukas perihal ikhtiar itu: ”Lalu mereka cepat-cepat berangkat dan menjumpai Maria dan Yusuf dan bayi itu, yang sedang berbaring di dalam palungan” (Luk. 2:16).
Para gembala itu merasa perlu cepat-cepat, segera, langsung, tidak menunggu esok. Mengapa? Besok mungkin sudah terlambat. Mengapa terlambat? Bisa jadi Sang Bayi sudah tidak lagi terbaring di Palungan! Ibu mana yang tega membiarkan anaknya terus terbaring di palungan.
Jika para gembala tidak cepat-cepat menemui bayi itu maka mereka akan kehilangan kesempatan untuk klarifikasi. Sehingga catatan penutup Lukas berkenaan dengan para gembala Efrata menjadi semakin menarik: ”Maka kembalilah gembala-gembala itu sambil memuji dan memuliakan Allah karena segala sesuatu yang mereka dengar dan mereka lihat, semuanya sesuai dengan apa yang telah dikatakan kepada mereka” (Luk. 2:20).
Para gembala itu telah mengalami berita Natal sesungguhnya. Kabar Natal itu sungguh dialami. Berita Natal itu tak sekadar berita, tetapi sungguh dialami. Mengapa bisa demikian? Karena mereka mau mengambil waktu untuk klarifikasi. Inilah hikmat yang sesungguhnya!
Pertanyaannya adalah seberapa banyak kita menyediakan waktu untuk klarifikasi? Di tengah budaya digital yang serbacepat, kita dipanggil untuk klarifikasi. Dan sejatinya ini merupakan perwujudan dari hikmat Allah.
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional