(Ayb. 23:1-12)
”Sekarang ini keluh kesahku menjadi pemberontakan, tangan-Nya menekan aku, sehingga aku mengaduh. semoga aku tahu mendapatkan Dia, dan boleh datang ke tempat Ia bersemayam. Maka akan kupaparkan perkaraku di hadapan-Nya, dan kupenuhi mulutku dengan kata-kata pembelaan. Maka aku akan mengetahui jawaban-jawaban yang diberikan-Nya kepadaku dan aku akan mengerti, apa yang difirmankan-Nya kepadaku” (Ayb. 23:2-5).
Itulah yang diakui Ayub. Dia menyadari bahwa keluhannya selama ini akhirnya menjadi pemberontakan. Itu jugalah yang perlu kita perhatikan. Ketika keluhan terus keluar dari diri kita, dan tidak mendapatkan jawaban sebagaimana diharapkan, tanpa sadar keluhan itu berubah menjadi pemberontakan. Mengeluh tentu wajar. Namun, perlu dikelola dengan baik. Jika tidak, hati kita pun akan digerusnya, dan akhirnya membuat kita makin sakit hati.
Meski demikian, Ayub tak pernah putus harap. Dia berharap dapat menemui Allah. Dan dia ingin mengisi pertemuan itu dengan kata-kata pembelaan. Pertemuan muka dengan muka itulah yang diharapkan dapat membuatnya mengerti atas apa yang selama ini menimpanya.
Menarik disimak, Ayub percaya bahwa Allah pasti akan mendengarkan suaranya. Allah masih memperhatikannya. Dan alasan Ayub adalah, dalam ayat 7 dinyatakan, ”Orang jujurlah yang akan membela diri di hadapan-Nya, dan aku akan bebas dari Hakimku untuk selama-lamanya.”
Kejujuran. Itulah modal utama Ayub. Mungkin nada kalimat yang keluar dari mulut Ayub terasa seperti pemberontakan, namun semua itu berlandaskan hati yang jujur. Karena enggak ada yang perlu disembunyikan, Ayub bisa bersikap lepas-bebas di hadapan Allah.
Ya, kejujuran adalah modal utama manusia yang rindu hidup di hadapan Allah. Lagipula, mungkinkah kita tidak jujur di hadapan-Nya?
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional