(Luk. 6:17-19)
”Lalu Ia turun dengan mereka dan berhenti pada suatu tempat yang datar: Di situ berkumpul sejumlah besar dari murid-murid-Nya dan banyak orang lain yang datang dari seluruh Yudea dan dari Yerusalem dan dari daerah pantai Tirus dan Sidon. Mereka datang untuk mendengarkan Dia dan untuk disembuhkan dari penyakit mereka; juga mereka yang dirasuk oleh roh-roh jahat disembuhkan. Semua orang banyak itu berusaha menyentuh Dia, karena ada kuasa yang keluar dari Dia dan menyembuhkan semua orang itu.”
Menarik diperhatikan banyak orang datang kepada Yesus untuk mendengarkan Dia dan disembuhkan dari penyakit mereka. Ada dua hal yang penting di sini: mendengarkan dan disembuhkan. Itu berarti ada juga dua hal penting yang dilakukan Sang Guru: mengajar dan menyembuhkan; bersaksi dan melayani.
Dalam buku _Gereja: Persekutuan yang Unik_, John Stott mengingatkan gereja untuk mewujudkan misi Allah, yakni dipanggil keluar dari dunia untuk menyembah Allah dan dikirim kembali ke dunia untuk bersaksi dan melayani.
Gereja dipanggil ke dunia—yang dikasihi Allah—dalam keterasingan, kelaparan, kemiskinan, dan penderitaannya. Untuk itu, gereja harus secara serentak menjadi ”kudus” (berbeda dari dunia) dan sekaligus ”duniawi” (bukan dalam arti mengasimilasi nilai-nilai dunia, tetapi dalam arti meninggalkan dunia-dunia lain dan sebaliknya terbenam dalam kehidupan dunia).
Itu berarti kita, selaku gereja, dipanggil untuk mengupayakan—menggunakan istilah Alec Vidler sebagaimana dikutip John Stott—”keduniawian kudus”. Dan kita perlu meneladan Yesus Kristus Sang Kepala Gereja.
Di satu sisi, Yesus mendatangi kita di dalam dunia kita, dan menerima kenyataan penuh kemanusiaan kita. Dia menjadikan diri-Nya satu dengan kita dalam kelemahan kita, dan membuka diri terhadap godaan kita. Dia bergaul dengan orang-orang biasa, dan mereka dengan penuh semangat berkerumun di sekeliling-Nya. Dia menyambut semua orang dan tidak menghindari siapa pun. Dia mengidentifikasi kesedihan kita, dosa kita, dan kematian kita.
Di sisi lain, dalam bergaul bebas dengan orang-orang seperti kita, Dia tidak pernah mengorbankan atau mengompromikan identitas unik-Nya sendiri. Dia adalah kesempurnaan ”keduniawian kudus”.
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional