(Ayb. 24:13-25)
”Ada lagi golongan yang memusuhi terang, yang tidak mengenal jalannya dan tidak tetap tinggal pada lintasannya. Pada parak siang bersiaplah si pembunuh, orang sengsara dan miskin dibunuhnya, dan waktu malam ia berlaku seperti pencuri. Orang yang berzinah menunggu senja, pikirnya: Jangan seorang pun melihat aku; lalu dikenakannya tudung muka. Di dalam gelap mereka membongkar rumah, pada siang hari mereka bersembunyi; mereka tidak kenal terang, karena kegelapan adalah pagi hari bagi mereka sekalian, dan mereka sudah biasa dengan kedahsyatan kegelapan” (Ayb. 24:13-17).
Ayub menjuluki mereka sebagai kaum yang memusuhi terang. Bukan sekadar tidak suka terang, tetapi memusuhinya. Alasannya sederhana: dalam kegelapanlah mereka merasa aman melalukan kejahatan. Pada hemat mereka di dalam gelap orang tidak akan tahu apa yang mereka lakukan. Mereka melakukan kejahatannya saat kegelapan mulai menyelimuti bumi. Kita boleh menyebutnya sebagai kaum kegelapan.
Meskipun mereka nyata-nyata melakukan segala kejahatannya pada malam hari atau saat gelap, Ayub merasa mereka pun tidak mendapatkan hukuman apa-apa. Tentu saja mereka mati sama seperti orang lain, dan orang tidak lagi mengingat dia. Namun, bukankah itu juga yang dialami orang pada umumnya? Dengan semua ini, Ayub hendak mengatakan bahwa Yang Mahatinggi agaknya acuh tak acuh terhadap kejahatan.
Bahkan, pada ayat 23, Ayub menyatakan: ”Allah memberinya keamanan yang menjadi sandarannya, dan mengawasi jalan-jalannya.” Ya, Allah digambarkan sebagai pelindung mereka. Tentu saja mereka semua akan binasa, tetapi tetap saja Ayub merasa tidak adil jika Allah tidak menghukum mereka selama tinggal di dunia. Kalau cuma mati mah, semua orang juga mati.
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional