(Ayb. 19:21-22)
”Kasihanilah aku, kasihanilah aku, hai sahabat-sahabatku, karena tangan Allah telah menimpa aku. Mengapa kamu mengejar aku, seakan-akan Allah, dan tidak menjadi kenyang makan dagingku?”
Menarik disimak, di tengah kekecewaan Ayub kepada para sahabatnya, terungkap permohonan: ”Kasihanilah aku, kasihanilah aku, hai sahabat-sahabatku….” Dengan demikian, jelaslah bahwa Ayub masih merasakan perlunya belas kasihan dari para sahabatnya.
Apa arti semuanya ini? Sepertinya Ayub memohon agar para sahabatnya lebih maklum dengan dirinya. Ayub berharap para sahabatnya itu tidak bertindak seperti Allah. Dia sungguh ingin para sahabatnya bersikap lebih manusiawi terhadap dirinya.
Berkait dengan Allah, Ayub percaya bahwa tak ada manusia yang bisa bertahan di hadapan-Nya. Bagaimanapun Allah Mahakuasa, sedangkan manusia tidak; Allah itu Suci, sedangkan manusia itu cemar; dan Allah itu Tak Terbatas, sedangkan manusia itu terbatas. Dengan kata lain, Allah itu Mutlak.
Nah, pada titik ini, Ayub memohon pengertian para sahabatnya, sehingga mereka tidak menilai dirinya seperti Allah menilai dirinya. Dia sungguh ingin para sahabatnya lebih fleksibel karena toh mereka sama seperti dirinya juga manusia yang pasti punya salah.
Hanya, ini mungkin persoalannya di bumi manusia, kadang manusia malah bisa lebih tegas ketimbang Allah dan bertindak sebagai hakim terhadap sesamanya. Mungkin dengan itu dia merasa mendapat kesempatan untuk menempatkan dirinya lebih tinggi dari orang lain. Ya, kadang manusia memang lebih suka memandang dirinya lebih dari manusia lain.
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional