Pengkhotbah 2:4-11
Dalam Pengkhotbah 2:4-5, Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini, sang pemikir bersaksi: ”Karya-karya besar telah kulaksanakan. Kubangun rumah-rumah bagiku. Kubuat taman-taman dan kebun-kebun yang kutanami dengan pohon anggur dan segala macam pohon buah-buahan. Kugali kolam-kolam untuk mengairi taman-taman dan kebun-kebun itu. Aku mempunyai banyak budak, baik yang kubeli, maupun yang lahir di rumahku. Ternakku jauh lebih banyak daripada ternak siapa pun yang pernah tinggal di Yerusalem. Kukumpulkan perak dan emas hasil upeti dari raja-raja di negeri-negeri jajahanku. Biduan dan biduanita menyenangkan hatiku dengan nyanyian-nyanyian mereka. Kumiliki juga selir-selir sebanyak yang kuinginkan.”
Kita mesti mengakui bahwa sang pemikir merupakan pribadi langka. Kelangkaan itu terlihat saat dia menyatakan dalam ayat 9: ”Dengan demikian aku menjadi besar, bahkan lebih besar dari pada siapa pun yang pernah hidup di Yerusalem sebelum aku; dalam pada itu hikmatku tinggal tetap padaku.” Sang pemikir tak hanya kaya raya, namun dia juga pribadi unggul dalam hal hikmat dan kebijaksanaan.
Namun, apa yang disimpulkannya? Meski mencoba menikmati semuanya itu—apa yang dibangun dan apa yang dikumpulkan—dia gamblang mengaku pada ayat 11: ”kesia-siaan dan usaha menjaring angin; memang tak ada keuntungan di bawah matahari.”
Kesimpulan ini mungkin mencengangkan kita. Namun, demikianlah adanya. Sesungguhnya semua yang di luar Allah adalah sia-sia. Sebab Allahlah yang memberi makna. Sebaliknya, hal kecil sungguh berarti ketika Allah memberi makna. Sekali lagi, Allahlah yang membuatnya berbeda.
SMaNGaT,
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional
Foto: Igor Miske