(Pengkhotbah 2:12-26)
Dalam ayat 15, Sang Pemikir mengeluh, ”Nasib yang menimpa orang bodoh juga akan menimpa aku. Untuk apa aku ini dulu begitu berhikmat?” Dia menyadari bahwa baik orang bodoh maupun orang berhikmat sama-sama mati. Lalu, apa hebatnya orang berhikmat dibandingkan dengan orang bodoh. Toh sama-sama dikubur. Dia merasa itu pun sia-sia.
Sang Pemikir pun memberi penalaran pada ayat berikutnya, Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini, ”Orang yang bodoh akan segera dilupakan, tetapi orang yang mempunyai hikmat pun tak akan dikenang. Lambat laun kita semua akan hilang dari ingatan. Kita semua harus mati, baik orang yang arif maupun orang yang dungu.”
Penalarannya sungguh logis. Itulah yang terjadi dalam hidup manusia. Masih ingatkah kita nama teman sebangku kita sewaktu SD, bagaimanakah rupanya? Kemungkinan besar mereka masih hidup bukan? Lalu, mengapa kita sulit mengingat wajahnya, namanya, apalagi nilai rapornya. Nah, pada titik ini pun kita perlu bertanya dalam diri, ”Apakah itu berarti semua hal yang kita lakukan saat SD itu sia-sia?
Tentu jawabnya tidak. Sebab kita tahu kisah-kisah masa SD dahulu, diakui atau tidak, menjadi dasar pertumbuhan kita sekarang ini. Dan baiklah semuanya itu kita syukuri! Karena Allah yang menyertai kita pada masa lalu masih setia menyertai kita hingga hari ini. Dan marilah kita mengamini kalimat Sang Pemikir dalam ayat 24-25, Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini: ”Tak ada yang lebih baik bagi manusia daripada makan, minum dan menikmati hasil kerjanya. Aku sadar bahwa itu pun pemberian Allah. Siapakah yang dapat makan dan bersenang-senang tanpa Allah?”
Ya, bersukacitalah dalam Allah. Itulah sukacita sejati!
SMaNGaT,
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional
Foto: Istimewa