Dalam situasi tertekan karena orang jahat terlihat makin jaya dalam hidupnya, Daud berseru dalam mazmurnya: ”Janji TUHAN adalah janji yang murni, bagaikan perak yang teruji, tujuh kali dimurnikan dalam dapur peleburan di tanah” (Mzm. 12:7). Dalam BIMK (Bahasa Indonesia Masa Kini) tertera: ”Janji TUHAN teguh dan dapat diandalkan, seperti perak murni yang diuji di dalam api.”
Menyaksikan orang jahat semakin jahat—dan kelihatannya hidupnya aman-nyaman saja—kadang membuat umat Allah merasa bingung, heran, dan tergoda untuk meninggalkan Allah. Ya, apa artinya mengikut Allah kalau hidup malah makin susah. Bukankah Allah telah berjanji, tetapi mana buktinya? Mereka pun akhirnya meragukan kasih Allah, yang biasanya bermuara pada meninggalkan Allah.
Mengapa manusia meragukan janji Allah? Pertama, mungkin itu cerminan dari kemanusiaan itu sendiri. Berapa kali orang mengingkari janjinya kepada kita? Berapa kali pula kita mengingkari janji kita, baik kepada diri sendiri dan orang lain? Karena sadar betapa rapuhnya manusia, kita jadi merasa Allah pun sama rapuhnya.
Kedua, bisa jadi karena pikiran jangka pendek kita. Sehari, seminggu, setahun, sewindu. Padahal Allah kekal sifatnya. Dia adalah alfa dan omega—Yang Awal dan Yang Akhir. Allah tidak dibatasi waktu. Dia adalah pencipta waktu. Ketika menanti pemenuhan janji Allah, kita masih pakai pola pikir waktuwi kita. Itulah yang membuat kita goyah. Padahal waktu Allah sering kali memang bukan waktu kita.
Namun begitu, Daud tetap berseru, ”Janji Tuhan itu teguh dan dapat diandalkan!” Mengapa? Karena Allah kekal adanya!
Menjalani pandemi Covid-19 ini acap membuat kita bertanya-tanya dalam hati: ”Sampai kapan semua ini? Kapan berakhirnya? Kapan saya sembuh? Kapan saya berhenti khawatir? Kapan saya bekerja lagi? Kapan semuanya berlangsung normal?”
Pertanyaan-pertanyaan itu lumrah dan manusiawi. Namun, sekali lagi, Allah itu kekal. Karena Allah itu kekal, janji-Nya pun kekal. Dia dapat diandalkan. Percayalah!
SMaNGaT,
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional