Dalam Mazmur 13, Daud memulai syairnya dengan tanya: ”Berapa lama lagi, TUHAN, Kaulupakan aku terus-menerus? Berapa lama lagi Kausembunyikan wajah-Mu terhadap aku” (Mzm. 13:2). Tampaknya Daud sudah capek berharap. Dan sepertinya Allah tenang-tenang saja. Pada titik ini Daud merasa perlu—meminjam judul buku penyair F. Rahardi—Menggugat Tuhan.
Tak hanya sekali. Anak Isai itu terus bertanya dan mempertanyakan tindakan Allah: ”Berapa lama lagi aku harus menaruh kekhawatiran dalam diriku, dan bersedih sepanjang hari?” (Mzm. 13:3). Daud merasa perlu bertanya karena dia tahu pasti Allah mendengarkan.
Doa senantiasa menyiratkan bahwa kita tak sendirian. Ada yang diajak bicara. Dan Daud tahu itu. Sehingga dia pun memohon, ”Pandanglah kiranya, jawablah aku, ya TUHAN, Allahku! Buatlah mataku bercahaya, supaya jangan aku tertidur dan mati… (Mzm. 13:4). Daud ingin memandang wajah Allah. Sepertinya dia tahu ada ketenangan, ada kelegaan, ada penghiburan yang terpancar. Dan itulah yang akan membuat matanya bercahaya.
Bisa jadi itu jugalah yang ada dalam hati dan pikiran kita seminggu belakangan ini. Kita merasa perlu bertanya dan mempertanyakan Allah. Mempertanyakan kasih-Nya, mempertanyakan tindakan-Nya. Kok, ya enggak selesai-selesai.
Kita tahu tak sedikit pedagang—yang jualan agar bisa makan hari itu—mulai marah. Marah karena frustrasi. Pembatasan fisik membuat hidup semakin susah. Kita yang bekerja di sektor swasta pun mungkin juga mulai khawatir.
Namun demikian, pada titik ini pun, kita perlu bersikap seperti Daud. Meski keadaan belum berubah, Daud mengakhiri mazmurnya dengan ikhtiar: ”Tetapi aku, kepada kasih setia-Mu aku percaya” (Mzm. 13:6). Daud percaya karena ia pernah mengalami kebaikan Allah sebelumnya. Dia tahu kebaikan itu tetap ada, tinggal tunggu waktu saja.
SMaNGaT,
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional