(Ayb. 21:7-26)
”Mengapa orang fasik tetap hidup, menjadi tua, bahkan menjadi bertambah-tambah kuat? Keturunan mereka tetap bersama mereka, dan anak cucu diperhatikan mereka. Rumah-rumah mereka aman, tak ada ketakutan, pentung Allah tidak menimpa mereka. Lembu jantan mereka memacek dan tidak gagal, lembu betina mereka beranak dan tidak keguguran” (Ayb. 21:7-10).
Menarik disimak, pernyataan ini keluar dari mulut orang yang pernah berkata, ”TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN.” Tak hanya itu perkataan yang pernah keluar dari mulut Ayub berkait dengan prahara yang menimpanya. Dia sendiri pernah mengajari istrinya, ”Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?”
Sepertinya, setelah beberapa saat, Ayub sendiri mulai membanding-bandingkan dirinya dengan orang fasik. Ketika pikiran menelaah nasib diri, membandingkan diri dengan orang lain, rasa iri pun mulai menggerus hati, menguasai otak, yang bermuara pada tanya: ”Mengapa orang fasik lebih sejahtera?”
Pada titik ini Ayub merasakan ketidakadilan. Memang orang fasik akan binasa, tetapi dalam ayat 23-25, Ayub mengeluh, ”Yang seorang mati dengan masih penuh tenaga, dengan sangat tenang dan sentosa; pinggangnya gemuk oleh lemak, dan sumsum tulang-tulangnya masih segar. Yang lain mati dengan sakit hati, dengan tidak pernah merasakan kenikmatan.” Ya, Ayub merasa nasibnya sama seperti golongan orang kedua.
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional