(Ayb. 38:34-38)
”Dapatkah engkau menyaringkan suaramu sampai ke awan-awan, sehingga banjir meliputi engkau? Dapatkah engkau melepaskan kilat, sehingga sabung-menyabung, sambil berkata kepadamu: Ya? Siapa menaruh hikmat dalam awan-awan atau siapa memberikan pengertian kepada gumpalan mendung? Siapa dapat menghitung awan dengan hikmat, dan siapa dapat mencurahkan tempayan-tempayan langit, ketika debu membeku menjadi logam tuangan, dan gumpalan tanah berlekat-lekatan?”
Kali ini Allah berbicara soal hujan. Dengan nada menyindir, Allah bertanya kepada Ayub, apakah dia mampu memerintahkan hujan turun. Jawabannya tentu tidak. Meski jamak pada waktu itu, juga dalam beberapa suku di Indonesia, ada ritual memanggil hujan. Namun, kehadiran hujan merupakan perkenanan Allah semata. Dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini tertera: ”Dapatkah engkau meneriakkan perintah kepada awan, dan menyuruhnya membanjirimu dengan hujan?”Juga ketika Allah berbicara soal kilat, jelaslah bahwa manusia tidak akan mampu memanggil api dari langit.
Manusia modern—dengan pengetahuannya—memahami bahwa hujan adalah titik-titik air yang berjatuhan dari udara karena proses pendinginan. Manusia modern boleh mengatakan bahwa itu adalah hukum alam, namun hukum alam itu pun adalah ciptaan Allah. Sama halnya dengan air di bumi yang akan menguap jika terkena panas matahari sehingga menjadi awan di langit. Ya, semua itu memang hukum alam, tetapi kita boleh percaya Allahlah yang menciptakan hukum itu.
Tentu saja, manusia bisa membuat hujan buatan. Akan tetapi, jika ditelusuri lebih jauh, itu hanyalah peniruan dari proses yang terjadi di alam semesta, yang sekali lagi merupakan ciptaan Allah semata.
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasionnal