Posted on Tinggalkan komentar

Hikmat

(Ams. 3:13-18)

”Berbahagialah orang yang mendapat hikmat, orang yang memperoleh kepandaian, karena keuntungannya melebihi keuntungan perak, dan hasilnya melebihi emas.” Demikianlah ungkapan bahagia dari penulis Kitab Amsal dalam ayat 13-14. Mengapa berbahagia?

Pertama, baik hikmat maupun kepandaian awalnya bukanlah milik pribadi. Orang perlu belajar untuk mendapatkannya. Kita punya ungkapan ”menuntut ilmu”. Atau, mungkin tidak belajar secara formal, tetapi tetap membutuhkan sikap belajar.

Misalnya, saat membaca koran, tentu kita bisa membacanya sambil lalu, tetapi kita bisa memikirkan, mengolah, dan mengambil kesimpulan dari sebuah berita. Dan ketika kita menyimpulkannya kita merasa mendapatkan hikmat baru. Dengan kata lain, kita memperoleh yang belum pernah kita miliki sebelumnya. Itulah mengapa semestinya kita bahagia.

Kedua, menurut penulis dalam ayat 15, hikmat dan kepandaian lebih berharga ketimbang harta. Lagi pula hikmat kekal sifatnya. Hikmat, beda dengan emas dan perak, bersifat kekal. Tak pernah habis, meski kita berkali-kali memberikannya kepada orang lain. Bahkan ketika tulus memberikan hikmat itu, nalar pikir kita makin terasah, yang tentu saja membuat kita makin berhikmat. Karena itu, jangan remehkan setiap pertanyaan yang menghampiri—sesederhana apa pun.

Ketiga, dalam ayat 16, penulis Kitab Amsal menyatakan: ”Umur panjang ada di tangan kanannya, di tangan kirinya kekayaan dan kehormatan.” Benarkah pernyataan ini? Memang benar! Ambil saja nama seorang penulis yang berpengaruh dalam diri kita! Meski dia telah meninggal, nama dan tulisannya tetap terpatri dalam benak kita dan mendapatkan tempat terhormat dalam hati kita.

Keempat, hikmat itu sendiri menghidupkan. Mengapa kita beribadah? Mengapa pula kita berdoa? Mengapa kita melakukan sesuatu? Semua jawaban kita—dari pertanyaan yang kita ajukan sendiri—merupakan pola kerja hikmat. Itulah yang membedakan kita dari makhluk Allah lainnya. Yang membuat hidup kita lebih hidup. Percayalah!

SMaNGaT,

Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional

Foto: Claudia Wolff

Bagikan:
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *