(Ayb. 17:11-16)
”Apabila aku mengharapkan dunia orang mati sebagai rumahku, menyediakan tempat tidurku di dalam kegelapan, dan berkata kepada liang kubur: Engkau ayahku, kepada berenga: Ibuku dan saudara perempuanku, maka di manakah harapanku? Siapakah yang melihat adanya harapan bagiku?” (Ayb. 17:13-15).
Dalam pemahaman Ayub, tak ada lagi harapan baginya. Dia menyebut liang kubur sebagai ayahnya dan menyebut cacing pemakan tubuh sebagai ibunya. Orang tuanya adalah kesia-siaan. Beratnya penderitaan membuat Ayub merasa hidupnya seperti sedang menunggu mati saja.
Mirip dengan Ayub, Chairil Anwar, dalam puisinya ”Derai-derai Cemara” pernah menulis: ”Hidup hanya menunda kekalahan/tambah terasing dari cinta sekolah rendah/dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan/sebelum pada akhirnya kita menyerah.
Meski banyak orang menganggap torehan pena Chairil itu merupakan puisi percintaan, namun sedikit banyak menyinggung soal makna hidup. Tampaknya Chairil memahami bahwa hidup memang kekalahan yang tertunda, sebelum akhirnya kalah dalam kematian.
Keduanya, baik Ayub maupun Chairil Anwar, bicara soal pedihnya hidup. Dan kepedihan hidup bisa membuat orang frustrasi karena merasa tiada harapan. Hanya yang kadang dilupakan, juga oleh kita, adalah kenyataan bahwa kita masih hidup. Dan hidup berarti harapan.
Pertanyaan Ayub—di manakah harapanku?—sejatinya memperlihatkan bahwa harapan itu ada. Jika kita merasa tak memilikinya, mari kita mencarinya.
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional