(Ayb. 18:1-21)
”Bagaimanapun juga terang orang fasik tentu padam, dan nyala apinya tidak tetap bersinar. Terang di dalam kemahnya menjadi gelap, dan pelita di atasnya padam. Langkahnya yang kuat terhambat, dan pertimbangannya sendiri menjatuhkan dia. Karena kakinya sendiri menyangkutkan dia dalam jaring, dan di atas tutup pelubang ia berjalan” (Ayb. 18:5-8).
Demikianlah kesimpulan Bildad orang Suah. Dan itu benar. Keadilan Allah tak mungkin membiarkan orang fasik tetap bertahan.
Menarik disimak, bagaimana Bildad menghubungkan keberadaan orang fasik dengan terang. Manusia normal sesungguhnya adalah makhluk terang. Dia hanya dapat hidup dalam terang. Terang membuat manusia dapat melakukan segala sesuatu dengan baik. Tanpa terang, manusia hanya bisa meraba-raba; dan semuanya serbagamang dan tak pasti. Dan kegelapan itu menakutkan.
Bildad juga menyatakan bahwa kaki yang kuat serta pertimbangan yang matang hanya bermuara pada kejatuhan orang fasik. Bahkan, kakinya sendiri tak lagi bisa dipercaya.
Sekali lagi, apa yang dinyatakan Bildad memang benar. Namun, dengan mengatakan hal tersebut di depan Ayub, Bildad secara tidak langsung menyatakan bahwa orang fasik itu adalah Ayub sendiri.
Bahkan, dalam ayat 12-13 Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini, Bildad menyatakan: ”Dahulu ia kuat, kini ia merana; bencana menemaninya di mana-mana. Kulitnya dimakan penyakit parah; lengan dan kakinya busuk bernanah.” Gambaran ini mirip sekali dengan apa yang terjadi pada diri Ayub. Bencana datang bertubi-tubi dan tubuh pun dihinggapi borok dari telapak kaki hingga kepala.
Mengapa Bildad sampai pada sikap demikian? Bisa jadi karena dia marah menyaksikan keteguhan hati Ayub yang terus menyatakan diri tanpa salah. Keteguhan hati Ayub dilihatnya sebagai kesombongan. Dan kesombongan adalah ciri khas orang fasik.
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional