Di akhir Mazmur 88, pemazmur mengeluh: ”Telah Kaujauhkan dari padaku sahabat dan teman, kenalan-kenalanku adalah kegelapan.” Dalam Alkitab BIMK tertera: ”Kawan-kawanku yang akrab Kaujauhkan daripadaku, tinggal kegelapan menemani aku.” Dalam pemahaman pemazmur, segala sesuatu ada dalam kuasa Allah. Sehingga saat para sahabat meninggalkan dia, itu berarti Allah mengizinkan hal itu terjadi. Dan akhirnya yang tinggal hanyalah kegelapan.
Kegelapan membuat manusia serbagamang, tak pasti, bahkan tak tahu harus berbuat apa. Sejatinya manusia memang butuh terang. Tak hanya terang fisik, tetapi juga terang batin. Mungkin itulah sebabnya bahwa ciptaan pertama Allah adalah terang. Kabarnya tunanetra pun, meski dalam keadaan tak mampu melihat secara fisik, mereka bisa melihat dengan mata batin.
Demikianlah keadaan pemazmur. Dia merasa ditinggalkan Allah dan manusia. Namun, dia tidak diam, dia mempertanyakan tindakan Allah. Perhatikan ayat 15-18: ”Mengapa, ya TUHAN, Kaubuang aku, Kausembunyikan wajah-Mu dari padaku? Aku tertindas dan menjadi inceran maut sejak kecil, aku telah menanggung kengerian dari pada-Mu, aku putus asa. Kehangatan murka-Mu menimpa aku, kedahsyatan-Mu membungkamkan aku, mengelilingi aku seperti air banjir sepanjang hari, mengepung aku serentak.”
Namun, semua itu dilakukan pemazmur bukan karena dia tidak memercayai Allah. Sedu sedannya memperlihatkan bahwa dia percaya bahwa Allah mengasihinya. Itu terlihat jelas pada awal mazmurnya: ”Ya TUHAN, Allah yang menyelamatkan aku, siang hari aku berseru-seru, pada waktu malam aku menghadap Engkau.” Dia berdoa karena percaya Allahlah penyelamatnya dan akan terus menyelamatkannya.
Bagaimana dengan kita di tengah pandemi COVID-19 ini?
SMaNGaT,
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional
Foto: Istimewa