(Ayb. 33:1-7)
”Akan tetapi sekarang, hai Ayub, dengarkanlah bicaraku, dan bukalah telingamu kepada segala perkataanku. Ketahuilah, mulutku telah kubuka, lidahku di bawah langit-langitku berbicara. Perkataanku keluar dari hati yang jujur, dan bibirku menyatakan dengan terang apa yang diketahui. Roh Allah telah membuat aku, dan nafas Yang Mahakuasa membuat aku hidup. Jikalau engkau dapat, jawablah aku, bersiaplah engkau menghadapi aku, pertahankanlah dirimu. Sesungguhnya, bagi Allah aku sama dengan engkau, aku pun dibentuk dari tanah liat. Jadi engkau tak usah ditimpa kegentaran terhadap aku, tekananku terhadap engkau tidak akan berat” (Ayb. 33:1-7).
Dengan lantang, penuh percaya diri, Elihu berbicara. Dia mengajak Ayub untuk mencermati setiap kata yang keluar dari mulutnya. Mengapa dia berani begitu lantang?
Pertama, kata-katanya itu keluar dari hati yang tulus. Tanpa ketulusan sulit bagi kita bicara lantang. Sebab kekerasan suara kita hanya akan menuduh diri kita sendiri. Tentu ada saja orang yang berbicara lantang dengan maksud menutupi kesalahannya sendiri. Namun, orang demikian memang aneh.
Kedua, Elihu mendasarkan kata-katanya pada kehidupan yang diberikan Roh Allah. Ini pun bisa kita jadikan teladan: karena dihidupi oleh Roh Allah, baiklah kata yang keluar pun juga dari Allah.
Ketiga, Elihu tidak perlu merasa minder di hadapan Ayub karena mereka berdua sama-sama ciptaan Allah. Kadang orang sering kali, tanpa sadar, dalam percakapan menempatkan diri di bawah atau di atas kawan bicara. Dan karena itu, Elihu bisa dijadikan contoh yang baik.
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional