(Ayb. 28:1-28)
”Manusia melekatkan tangannya pada batu yang keras, ia membongkar-bangkir gunung-gunung sampai pada akar-akarnya; di dalam gunung batu ia menggali terowongan, dan matanya melihat segala sesuatu yang berharga; air sungai yang merembes dibendungnya, dan apa yang tersembunyi dibawanya ke tempat terang. Tetapi di mana hikmat dapat diperoleh, di mana tempat akal budi? Jalan ke sana tidak diketahui manusia, dan tidak didapati di negeri orang hidup?” (Ayb. 28:9-13).
Inilah pengakuan Ayub. Kemungkinan besar itulah yang dialami. Berkait dengan semua yang menimpa dirinya, Ayub menyadari, tak mudah bagi dia memahami semuanya itu. Namun, memang itulah yang terjadi. Dengan tangannya manusia berupaya membongkar bumi dan mendapatkan banyak batu berharga dari dalamnya. Akan tetapi, bagaimanakah caranya memperoleh hikmat?
Dalam ayat 20-24 Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini, Ayub kembali bertanya, sekaligus menjawab pertanyaannya: ”Di manakah sumbernya kebijaksanaan? Di mana kita mendapat pengertian? Tak ada makhluk hidup yang pernah melihatnya, bahkan burung di udara tak menampaknya. Maut dan kebinasaan pun berkata, mereka hanya mendengar desas-desus belaka. Hanya Allah tahu tempat hikmat berada, hanya Dia mengetahui jalan ke sana, karena Ia melihat ujung-ujung bumi; segala sesuatu di bawah langit Ia amati.” Yang memahami hikmat adalah Allah sendiri. Dan ketika ditanyakan kepada Allah, Dia pun menjawab dalam ayat 28 Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini: ”Untuk mendapat hikmat, Allah harus kamu hormati. Untuk dapat mengerti, kejahatan harus kamu jauhi.”
Menarik disimak, khususnya bagi kita, orang percaya abad XXI, hikmat itu sendiri berada dalam sikap hormat Allah, yang diwujudkan dalam kepasrahan dan ketundukan pada-Nya. Dalam sikap hormat kepada Allah kita akan terus diingatkan untuk tidak merasa pintar sendiri. Dan itulah yang membuat kita semakin bijak.
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional