(Luk. 9:28-36)
”Guru, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan sekarang tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia” (Luk. 9:33). Petrus sungguh bahagia melihat bagaimana Sang Guru dalam kemuliaan-Nya bercakap-cakap dengan Musa dan Elia.
Bagaimanapun, baik Musa dan Elia merupakan para pemimpin Israel. Jika Musa dikenal sebagai pendiri dan penetap dasar hukum Israel dengan Tauratnya, maka Elia adalah pribadi yang mencoba menjaga kemurnian Israel dalam menaati hukum tersebut. Petrus pasti bangga menyaksikan Sang Guru berada pada level yang sama dengan Musa dan Elia.
Perhatikan, keinginan Petrus membuat kemah bisa diartikan bahwa dia tidak ingin kejadian itu cepat berlalu. Dia ingin berlama-lama berada di gunung itu. Dia tidak ingin meninggalkan gunung itu. Mengapa? Karena dia sudah turut merasakan kemuliaan itu.
Dan akhirnya terdengarlah suara dari dalam awan: ”Inilah Anak-Ku yang Kupilih, dengarkanlah Dia” (Luk. 9:35). Kalimat-kalimat itu menjadi penting. Yang pertama adalah pernyataan dan yang kedua adalah perintah.
Pernyataan-Nya: Inilah Anak-Ku yang Kupilih. Dipilih untuk apa? Dan itulah sesungguhnya yang menjadi bahan percakapan antara Musa, Elia, dan Yesus, yaitu: kematian Yesus yang tidak lama lagi akan dijalankan-Nya di Yerusalem.
Sekali lagi, kemungkinan besar para murid tak paham dengan jalan yang akan ditempuh Sang Guru. Bagaimana mungkin Yesus mati dibunuh? Mungkinkah orang membunuh Yesus? Mungkinkah orang menangkap Yesus, setan-setan saja takut kepada-Nya?
Jawabnya: tentu tidak mungkin. Yang mungkin ialah Yesus menyerahkan diri-Nya untuk dibunuh. Kalaupun Yesus dibunuh, pada hari ketiga Dia bangkit. Bagaimana mungkin itu terjadi? Kisah Yesus dimuliakan di atas gunung memperlihatkan bahwa kebangkitan Yesus bukan kemustahilan. Kisah itu merupakan bukti nyata—Yesus adalah Anak Allah. Pemuliaan Yesus di atas gunung seharusnya mendorong para murid untuk tetap percaya dalam keadaan apa pun juga. Mengapa? Sebab guru mereka mulia.
Perintah-Nya: Dengarkanlah Dia! Sebenarnya ini merupakan implikasi logis dari pernyataan tadi. Jika Yesus adalah Allah yang menjadi manusia, maka menjalankan perintah-Nya merupakan hal yang wajar. Yang enggak wajar ialah ketika kita lebih suka mendengarkan suara kita sendiri.
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional