Posted on Tinggalkan komentar

Dengan Apakah Ia Diasinkan

(Luk. 14:34-35)

”Garam memang baik, tetapi jika garam juga menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya baik untuk ladang maupun untuk pupuk, dan orang membuangnya saja. Siapa yang mempunyai telinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar!”

”Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan?” Sebuah pernyataan retoris. Pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban karena orang telah mafhum, paham dengan sendirinya. Apa artinya garam tawar? Apakah layak disebut garam?

Bagi kita yang tinggal di Indonesia, mungkin ini sebuah keanehan: garam kok tawar. Salah satu tafsiran mengatakan bahwa di daerah Palestina, garam diangkat dari Laut Mati dan mengandung unsur-unsur lain di dalamnya. Dan jika garam itu terguyur hujan, unsur garamnya akan larut dan terbawa air, yang tersisa ialah unsur lainnya tadi. Nah, kalau sudah begini, ya, namanya bukan garam lagi. Sehingga tiada lagi gunanya, baik untuk ladang maupun pupuk.

Hakikat garam ialah asin. Sewaktu mendengar kata ”garam”, yang di benak kita biasanya bukanlah bentuknya, tetapi rasanya. Sama halnya saat kita mendengar kata gula, maka yang terbayang di benak biasanya rasa manis.

Garam berfungsi menggarami atau memberikan rasa asin. Ketika garam kehilangan asinnya, dia akan kehilangan fungsinya. Semua hal yang kehilangan fungsinya memang tiada berguna lagi. Apakah ada di antara kita yang masih mau menyimpan garam tawar. Sehingga dengan tegas, Sang Guru menyatakan: ”Siapa yang mempunyai telinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar!”

Dengan cara begini, Yesus hendak mengatakan penting bagi para murid-Nya untuk menjaga kadar asin mereka. Itu berarti terus mengupayakan hidup berkualitas agar dapat menggarami dunia yang makin hambar ini.

Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional

Bagikan:
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *