Posted on Tinggalkan komentar

Dablek

(Luk. 7:31-35)

”Dengan apakah akan Kuumpamakan orang-orang zaman ini dan dengan apakah mereka dapat disamakan? Mereka itu seumpama anak-anak yang duduk di pasar dan yang saling menyerukan: Kami meniup seruling bagimu, tetapi kamu tidak menari, kami menyanyikan kidung duka, tetapi kamu tidak menangis” (Luk. 7:31-32).

Demikianlah keluhan, bahkan kecaman, Yesus kepada masyarakat Yahudi yang tidak mau bertobat. Istilah Jawa yang dapat dikenakan bagi orang macam begini adalah dablek. Bagaimana tidak dablek? Masyarakat Yahudi tidak ambil pusing meskipun dinasihati, bahkan dimaki-maki, oleh Yohanes Pembaptis. Mereka tebal telinga. Mereka tidak bercermin. Bahkan diam saja ketika Herodes memenjara Putra Zakharia itu. Mereka, ya, itu tadi, dablek!

Mereka tetap diam. Bergeming. Tidak ada perubahan. Kalau menggunakan isitlah anak muda zaman sekarang, mereka sudah ”cuek bebek”! Atau, kalau mau bereaksi mereka kemungkinan besar akan berseru, ”Emangnya, gue pikirin!”

Sang Guru sendiri heran akan kondisi masyarakat Yahudi pada waktu itu. Mereka menolak Yohanes dengan alasan dia terlalu nyentrik. Bagaimana nggak nyentrik? Pakaiannya terbuat dari bulu unta, berikat pinggang kulit, makanannya belalang dan madu hutan, dan tinggalnya di gurun, jauh dari manusia.

Dan mereka menolak Yesus, dengan alasan orang Nazaret itu pelahap dan peminum, sahabat pemungut cukai dan orang berdosa. Padahal, baik Yesus maupun Yohanes Pembaptis, yang memang memiliki gaya hidup berbeda, menyuarakan hal yang sama, yaitu pertobatan.

Sekali lagi, mereka tidak melihat esensi pemberitaan kedua sepupu itu, namun mereka lebih melihat kenyentrikan Yohanes Pembaptis dan Yesus. Mereka lebih melihat orangnya ketimbang apa yang dikatakannya. Mereka lebih melihat penyanyinya, dan bukannya lagunya. Dan kalau mereka tidak suka dengan orangnya, bagaimanapun baiknya mereka bernyanyi, lagu tersebut tetap dianggap tidak ada artinya sedikit pun.

Lalu, apa artinya catatan Lukas bagi kita, orang percaya, di abad XXI ini? Kita perlu bertanya kepada diri sendiri, masihkah kita menyebut diri sendiri Kristen? Sebutan ini bukan sebutan biasa. Artinya: pengikut Kristus. Pengikut Kristus berarti mengikuti Kristus. Tentunya, bukan tanpa konsekuensi. Ada tantangan dan hambatan dalam mengikuti Kristus. Masih setiakah kita mengikuti Kristus? Mengikuti Kristus berarti hidup sebagaimana Kristus hidup. Standarnya adalah Kristus sendiri! Standar hidup kita adalah Kristus!

Hidup menurut standar Kristus bukan perkara ringan. Kadang kita menyimpang. Jika kita menyimpang, ya akui kesalahan kita. Jangan merasa benar! Jangan dablek!

Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional

Bagikan:
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *