(Ayb. 40:20–41:25)
“Dapatkah engkau menarik buaya dengan kail, atau mengimpit lidahnya dengan tali? Dapatkah engkau mengenakan tali rotan pada hidungnya, mencocok rahangnya dengan kaitan?” Tanya Allah kepada Ayub. Jawabannya pasti tidak. Pawang buaya, atau ahli penangkap buaya, mungkin bisa melakukannya, namun Ayub jelas tidak.
”Mungkinkah ia mengajukan banyak permohonan belas kasihan kepadamu, atau berbicara dengan lemah lembut kepadamu? Mungkinkah ia mengikat perjanjian dengan engkau, sehingga engkau mengambil dia menjadi hamba untuk selama-lamanya?” Tanya Allah lagi. Jawabnya pasti tidak mungkin. Sebab Ayub memang tak paham bahasa buaya.
Selanjutnya Allah menyatakan bahwa baru saja orang melihat buaya atau mendekatinya, dia akan terbanting. Bahkan, orang nekat pun takkan berani membangkitkan amarah buaya.
Lukisan mengenai buaya itu berujung pada pertanyaan Allah kepada Ayub, ”Siapakah yang menghadapi Aku, yang Kubiarkan tetap selamat? Apa yang ada di seluruh kolong langit, adalah kepunyaan-Ku” (Ayb. 41:2).
Menurut Alkitab Edisi Studi, dalam Perjanjian Lama, kata yang diterjemahkan dengan ”buaya” melambangkan kekuatan yang sangat besar yang hanya dapat dikendalikan Allah. Raksasa seperti itu juga dapat menjadi suatu lambang kejahatan dan dalam hal ini melambangkan musuh-musuh Allah. Namun demikian, tidak ada seorang pun yang dapat menyerang dan mengalahkan raksasa itu. Jika memang demikian, bagaimana Ayub merasa bisa menyerang Allah?
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional