(Ayb. 42:1-6)
”Maka jawab Ayub kepada TUHAN: ’Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal. Firman-Mu: Siapakah dia yang menyelubungi keputusan tanpa pengetahuan? Itulah sebabnya, tanpa pengertian aku telah bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku dan yang tidak kuketahui. Firman-Mu: Dengarlah, maka Akulah yang akan berfirman; Aku akan menanyai engkau, supaya engkau memberitahu Aku. Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau. Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu.’”
Ayub mengakui bahwa Allah sungguh Mahakuasa. Tak ada yang bisa menghalangi kehendak-Nya. Allah mampu melakukan segala sesuatu. Ayub juga mengakui bahwa dia telah membicarakan apa yang tidak dipahaminya. Dan semua pengetahuan yang dimiliki Ayub sejatinya adalah kata orang saja. Dan karena itu, Ayub mencabut apa yang pernah dikatakannya dan menyesalinya.
Sejatinya Kitab Ayub memang Kitab Kata-kata. Hampir keseluruhan isinya adalah perkataan dengan menggunakan ragam syair Yahudi. Paling hanya lima persen yang berisi narasi. Perkataan Ayub, perkataan ketiga sahabat Ayub, perkataan Elihu, dan akhirnya perkataan Allah. Dan semua perdebatan antara Ayub dan para sahabatnya memang berpangkal pada perkataan. Mencabut perkataan merupakan tindakan bijaksana karena berkait dengan Allah tak ada manusia, juga Ayub, yang memahami-Nya. Manusia hanya mungkin memahami Allah sejauh Allah menyatakan diri-Nya. Di luar itu yang ada hanyalah ketidaktahuan.
Sejatinya Ayub adalah pribadi yang berbahagia karena pada akhirnya dia sendiri diizinkan memandang Allah. Kisah kesengsaraan Ayub bermuara pada pengenalan dia akan Allah. Dan itu sungguh bermakna. Tak hanya bagi dirinya, tetapi juga kita—orang percaya abad XXI.
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional