(Luk. 6:29)
”Siapa saja yang menampar pipimu yang satu, berikanlah juga kepadanya pipimu yang lain, dan siapa saja yang mengambil jubahmu, biarkan juga ia mengambil bajumu.”
Perintah ini tak perlu kita pahami secara harfiah. Orang Yahudi biasa menghina sesama dengan menampar mukanya. Memberikan pipi yang lain kepada orang yang menampar kita, belum tentu membuat amarahnya reda, mungkin semakin marah.
Yesus, teladan kita, dalam kisah sengsara-Nya berkata kepada seorang penjaga yang menampar pipi-Nya, ”Jikalau kata-Ku itu salah, tunjukkanlah salahnya, tetapi jikalau kata-Ku itu benar, mengapa engkau menampar Aku?” Jelaslah penjaga itu bermaksud menghina Yesus, sekaligus mencari muka di hadapan imam besar. Yesus tidak membalasnya, tetapi menuntut sebuah pertanggungjawaban.
Kelihatannya, kita mesti mengartikan perintah Sang Guru ini sebagai sebuah sikap yang siap menerima penghinaan yang lebih buruk. Dengan kata lain, jika orang menghina kita, kita harus rela menerima penghinaan yang lebih besar lagi. Gaya hidup macam demikian akan membuat kita terhindar dari keterkejutan, bahkan sakit hati, yang tak perlu.
Kita dipanggil meneladan Tuhan yang berdoa, ”Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Orang jahat, yang sungguh-sungguh jahat, sebenarnya sedikit sekali. Yang paling banyak adalah orang yang tidak tahu apa yang diperbuatnya.
Oleh karena itu, dengan lembut kita bisa memberi tahu dia. Kalau tambah marah, ya enggak apa-apa juga. Bukankah kita telah menyiapkan diri untuk menerima yang lebih buruk?
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional