Posted on Tinggalkan komentar

Alangkah Baiknya

(Ayb. 26:1-14)

”Alangkah baiknya bantuanmu kepada yang tidak kuat, dan pertolonganmu kepada lengan yang tidak berdaya! Alangkah baiknya nasihatmu kepada orang yang tidak mempunyai hikmat, dan pengertian yang kauajarkan dengan limpahnya! Atas anjuran siapakah engkau mengucapkan perkataan-perkataan itu, dan gagasan siapakah yang kaunyatakan?” (Ayb. 26:2-4).

Demikianlah jawaban Ayub kepada Bildad. Kelihatannya Ayub memang kesal terhadap sahabatnya ini. Sehingga dua kali menggunakan frasa ”alangkah baiknya”. Ya, alangkah baiknya jika ucapan Bildad itu ditujukan kepada orang yang tepat—orang yang tak berdaya dan tak mempunyai hikmat.

Dengan kata lain, Ayub hendak menyatakan bahwa nasihat itu tak ubahnya pepesan kosong baginya. Ayub jelas sudah tahu apa yang dikatakan Bildad. Tentu saja, ini bukan karena Ayub sok tahu, tetapi karena dia memang sungguh tahu.

Ayub mengakui bahwa tidak ada seorang pun yang dapat mengerti kebesaran Allah. Dia juga tidak. Ayub sendiri berupaya untuk memahami konsep keadilan Allah, juga kasih Allah. Kalau Allah itu adil dan kasih, mengapa semua bencana menimpa dirinya.

Apa yang kita bisa pelajari dari sini? Tampaknya kita pun perlu berhati-hati ketika memberikan nasihat. Pada kenyataannya setiap orang yang tertimpa bencana tentu dalam hati dan kepalanya penuh dengan pertanyaan mengapa. Mulanya tentu tak mudah menjawabnya. Seiring waktu, biasanya orang tersebut akan belajar untuk memahami apa yang terjadi. Dengan kata lain, dia sendiri sudah banyak merenung. Sehingga, kita perlu berhati-hati kala menemaninya. Kita harus berpikir dua atau tiga kali jika hendak memberi nasihat. Atau sebaiknya, tak perlu memberi nasihat, kecuali jika dia memintanya dari kita.

Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional

Bagikan:
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *