”Hidup saya tidak pernah sesuai dengan apa yang saya harapkan. Tak pernah. Terkadang kehidupan melebihi harapan saya, di lain waktu harapan itu gagal; lebih sering hidup melakukan sesuatu yang tidak biasa, tak terduga, tak dapat diperkirakan, sesuatu yang membuat harapan saya tidak masuk akal.” Seperti itulah Mark Yaconelli menyimpulkan pengalamannya dalam buku Karunia Penderitaan ketika ia mempersiapkan pelayanan doa bagi mahasiswa Southern Oregon University—perguruan tinggi di seberang gerejanya—selama sembilan bulan, dan tidak satu pun mahasiswa pernah hadir. Tidak satu pun.
Kisah Mark boleh jadi merupakan kisah kita juga, tetapi dalam konteks yang berbeda. Kita mengharapkan sesuatu dalam hidup kita dan memperjuangkannya begitu rupa, tetapi beberapa di antaranya tidak terjadi.
Lalu pertanyaan seperti yang diajukan Mark muncul dalam benak kita: Bagaimana kita dapat menjalani hidup sementara kita mengalami kekecewaan besar atas kehidupan Kristen? Bagaimana kita dapat terus melayani saat hidup kita tidak sesuai dengan harapan kita? Apa yang kita lakukan ketika upaya kita, komitmen kita kepada Yesus, doa dan kerinduan rohani kita tidak terbalas?
Atas semua kebingungan, ketidakberdayaan, frustrasi, kecemasan, ketakutan, dan bahkan keraguan yang sering dialami Mark, ia menyadari bahwa perasaan-perasaan inilah yang juga sering dialami para murid Yesus. Berulang kali para murid dipaksa untuk menyerahkan kendali dan harapan mereka, dan tetap dalam keadaan miskin rohani. Untuk berada dalam keadaan miskin rohani berarti tidak berusaha memiliki atau mengendalikan Allah. Miskin rohani adalah kesediaan untuk mengosongkan diri, untuk mengizinkan ekspektasi kita kepada Allah dihilangkan.
Dalam keadaan miskin rohani berarti kita terbuka terhadap apa yang hendak Allah lakukan dalam hidup kita. Dan lihatlah Mark telah menerima buahnya. Salah seorang pianis dalam pelayanan doa tersebut mengaku, ”Saya tidak tahu apa-apa tentang agama. Saya tidak tahu apa-apa tentang Allah, tetapi saya mendengar Bapak berhenti dari pelayanan doa dan saya ingin mengucapkan terima kasih atas apa yang telah Bapak lakukan karena kebaktian itu satu-satunya kegiatan yang saya nantikan setiap minggu. Saya ingin menjadi orang Kristen, meskipun saya tidak tahu apa artinya itu.”
Mark mengajak kita untuk melihat bahwa di jalan Kristen kita belajar untuk melepaskan ekspektasi kita—ekspektasi terhadap diri kita sendiri, terhadap Allah, dan terhadap orang lain. Kita belajar untuk hidup dalam kemiskinan rohani, menjadi kosong, terbuka, tidak berdaya, tidak pasti, sehingga kita dapat terbuka pada pekerjaan Allah yang tersembunyi dan berhikmat.
Citra Dewi Siahaan
Literatur Perkantas Nasional