”Betapa kita tidak bersyukur bertanah air kaya dan subur; lautnya luas, gunungnya megah, menghijau padang, bukit dan lembah.”
Demikianlah bait pertama Kidung ”Betapa kita tidak bersyukur” (Kidung Jemaat 337) karya Subronto Kusumo Atmodjo (1979). Subronto menyatakan, bersyukur kepada Tuhan atas bumi yang dipijak dan langit yang dijunjung merupakan keniscayaan.
Dalam refreinnya, ditekankan alasannya: ”Itu semua berkat karunia Allah yang Agung, Mahakuasa; itu semua berkat karunia Allah yang Agung, Mahakuasa.” Subronto merasa perlu mengulangi kalimat yang sama. Bisa jadi karena dia memahami bahwa satu-satunya alasan untuk bersyukur memang hanya karena ini: semua berkat Allah. Dan konservasi merupakan salah satu bentuk rasa syukur itu.
John Zizioulas, sebagaimana dikutip Victor Nikijuluw dalam bab akhir bukuya Teologi Kreasi dan Konservasi Bumi, mengatakan: ”Lingkungan hidup tidak menjadi lebih baik hanya karena umat manusia melakukan upaya-upaya praktis dalam menjaganya, melainkan juga karena mereka beriman dan menyembah Allah.”
Masalahnya, kebanyakan orang beranggapan, konservasi tidak menguntungkan secara sosial ekonomi. Padahal, menurut Nikijuluw, konservasi menguntungkan secara biologi, ekologi, sosial, dan ekonomi.
Menurut Nikijuluw, seekor ikan pari manta yang berukuran 50 kg bila ditangkap dan dijual insang dan dagingnya akan bernilai sekitar Rp3 juta, sekali ditangkap dan untuk selamanya. Namun, bila ikan pari manta itu dibiarkan hidup di alamnya dan dikembangkan sebagai satu objek pariwisata manta-diving, maka selama 25 tahun masa hidupnya ikan pari mata itu bisa menghasilkan Rp1 milyar. Nilai ekonomi yang diberikan ikan pari manta yang hidup nilainya jauh lebih banyak.
Namun, di atas semuanya itu, pemahaman bahwa bumi adalah milik Allah yang patut disyukuri, memang harus menjadi dasar dari semua tindakan konservasi kita. Dan salah satu tindakan konkretnya: belajar hidup sederhana.
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional