Posted on Tinggalkan komentar

Bedah Buku Teologi Anak

Ditulis Oleh

Pdt. Ervin Sientje Merentek-Abram

Pendahuluan

Pertama-tama saya menyampaikan banyak terima kasih atas undangannya untuk menjadi panelis dalam acara bedah buku Teologi Anak. Saya memandang acara ini sangat bermakna, karena berbicara tentang pokok yang sangat penting, walaupun sering disepelekan.

Judul buku Teologi Anak sangat eye catching (menarik perhatian) jika dilihat dari sudut pandang terminologi dan sejarah perkembangan teologi. Pdt. Dr. Daniel Nuhamara dalam tulisannya pada bagian Prolog, menjelaskan bahwa istilah Teologi Anak (Child Theology) dipahami sebagai upaya berteologi untuk mengenal Tuhan (Teos) dalam atau dari perspektif anak. Sampai awal abad ke-21, berteologi selalu dilakukan dalam perspektif orang-orang dewasa.

Kita mengenal Teologi Pembebasan di Amerika Latin, Teologi Hitam (Black Theology) di Afrika, Teologi Rakyat Jelata (Minjung Theology) di Korea, Teologi Feminis (Teologi Perempuan), Teologi Rahim, semuanya adalah cara mengenal Tuhan dalam atau dari perspektif orang-orang dewasa. Biasanya, orang-orang percaya yang mengalami pergumulan dalam konteksnya, akan berupaya mencari tahu kehendak Tuhan dan apa respons mereka dalam situasi seperti itu.

Itulah sebabnya upaya-upaya berteologi seperti yang telah disebut sebelumnya, Teologi Kontekstual dikembangkan dalam konteks pergumulan pada saat itu. Saya yakin kita semua setuju kalau Teologi Anak adalah salah satu bentuk upaya berteologi kontekstual yang sedang dikembangkan. Ini adalah satu langkah maju, karena selama ini kita melihat yang mengembangkan teologi adalah orang-orang dewasa, dan anak-anak dianggap tidak tahu apa-apa tentang upaya berteologi. Padahal, orang dewasa perlu belajar dari anak-anak tentang upaya berteologi itu, yakni dari kepolosan mereka, kejujuran, serta kekuatan iman mereka.

Photo by freestocks.org from Pexels

Buku Teologi Anak dan Sumbangannya dalam Pendidikan Anak

Buku Teologi Anak yang diterbitkan oleh Tim KTAK Anak Bersinar Bangsa Gemilang berisi sembilan kajian tulisan para penulis yang juga dikenal sebagai pemerhati anak dan pendidikan anak. Para penulis membahas tempat anak dalam beberapa bidang yang penting yang harus digarisbawahi, di antaranya: ”Tantangan dan Peluang bagi Anak di Indonesia”; ”Anak dalam Alkitab”; ”Anak dalam Gereja”; ”Anak dalam Budaya”; ”Anak dalam Sekolah”; ”Anak dalam Perspektif Hukum”; ”Anak dalam Media”; ”Anak dalam Keluarga”; dan ”Anak dalam Pandangan Anak”.

Buku yang sarat dan padat makna ini ditulis dengan tujuan agar orang-orang dewasa—lebih khusus para memimpin gereja dan lembaga pendidikan teologi—mempunyai paradigma baru dalam memandang anak-anak yaitu dalam perspektif yang selayaknya. Paradigma lama menggarisbawahi orang dewasa sebagai satu-satunya narasumber dalam upaya mengenal Allah, sedangkan dalam paradigma baru, anak-anak dipandang mampu memberi masukkan kepada orang dewasa dalam upaya berteologi serta memberi respons terhadap kasih-Nya. Bersama anak orang-orang dewasa dapat mengekspresikan imannya dengan jujur dan berani.

Tentu paradigma baru ini tidak langsung bisa diterima oleh orang dewasa, apalagi yang sudah terbiasa menganggap anak-anak sebagai kelompok yang ”tidak tahu apa-apa”, sehingga mewajibkan anak-anak untuk mengikuti kemauan orang dewasa. Anak-anak juga dianggap tidak tahu karena umur mereka masih jauh lebih muda dibanding orang dewasa (bayi, 0-2 tahun; anak kecil, 3-6 tahun; anak tanggung, 7-9 tahun; anak besar, 10-12 tahun).

”Masih hijau”, begitu kata orang-orang dewasa; belum tahu apa-apa, jadi harus diam. Demikianlah dalam waktu yang lama anak-anak terpasung dalam keinginan orang-orang dewasa. Susi Rio Panjaitan dalam Bab 9 buku ini  mengatakan: ”Dengan perspektif masing-masing, mereka (orang dewasa) memberikan komentar tentang anak seakan-akan merekalah yang paling mengetahui tentang anak dan paling tahu apa yang terbaik buat anak. Saya kira situasi kita saat ini masih mencerminkan pemahaman seperti ini.”

Lihat saja, ketika kita membahas upaya mengenal Allah dari perspektif anak, yang hadir semuanya orang-orang dewasa, tidak ada anak-anak. Padahal, Nuhamara menggarisbawahi bahwa paradigma baru itu harus dikembangkan karena ada dasar teologinya seperti yang dilakukan oleh Yesus dan dikisahkan dalam Matius 18:1-5. Dalam kisah ini, Yesus menempatkan seorang anak kecil di tengah-tengah mereka (ay. 2) dan dijadikan contoh bagi orang-orang dewasa. Keberadaan anak bisa menjadi contoh bagi orang dewasa dalam memahami konsep Israel tentang Kerajaan Allah. Dengan demikian, Kerajaan Allah bukanlah kerajaan dengan kekuatan politik, kuasa, dan kebesaran, tetapi Kerajaan yang menghadirkan damai, keadilan, kasih, kebersamaan, dan shalom.

Dalam pembahasan sebelumnya, telah dijelaskan bahwa anak-anak adalah agen dalam berteologi, juga menolong orang-orang dewasa dalam upaya mengenal Allah, serta merespons kehendak-Nya dengan benar. Justitia Vox Dei Hattu, salah seorang penulis dalam buku ini, menghubungkan Matius 18:1-5 dengan Injil yang paralel, yaitu Markus 9:33-37. Ia menggarisbawahi peristiwa ketika murid-murid Yesus bertengkar tentang siapa yang terbesar di antara mereka. Pada saat itu, Yesus menempatkan seorang anak kecil di tengah-tengah mereka dan menunjukkan contoh tentang kerendahan hati.

Dalam masa pelayanan Yesus, secara nyata telah memperlihatkan bahwa Ia sangat mengasihi anak-anak. Ketika murid-murid memarahi orang tua yang membawa anak-anak mereka kepada Yesus (mungkin karena anak-anak ribut dan mengganggu istirahat mereka), Yesus justru memanggil mereka dan memberkati mereka. Ucapan Yesus ”Biarkanlah anak-anak itu datang kepadaku, jangan menghalangi mereka sebab orang-orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah” menjadi populer dipakai di setiap Ibadah Baptisan Kudus.

Photo by Josh Willink from Pexels

Yesus konsisten dengan sikap-Nya terhadap anak-anak. Yudiet Tompah menulis, bahwa sebagaimana yang Ia lakukan kepada orang-orang dewasa, Yesus juga melakukannya kepada anak-anak. Anak-anak disembuhkan dan dihidupkan, seperti yang dialami anak perempuan Yairus (Mat. 9:18); anak di Kapernaum (Yoh. 4:46-54) anak yang sakit ayan dan kerasukan setan (Luk.9:37-43) dan anak perempuan Kanaan (Mrk. 7:24-30).

Dalam bagian lain dari Alkitab, nyata sekali bahwa Allah memberi perhatian luar biasa dan keberpihakan kepada anak-anak. Ismael diperhatikan keberlangsungan hidupnya. Ada anak laki-laki dari perempuan Sunem (2Raj. 4:8-37) yang disembuhkan. Yudiet juga mencatat, bahwa Allah menyediakan orang-orang tertentu agar anak-anak hidup dalam lingkungan yang nyaman dan kondusif, misalnya dalam kisah Samuel yang mendapat perhatian penuh dari Hana, ibunya (1Sam. 1:22) dan dalam kisah Miryam, kakak Musa yang menjaga Musa dari  jauh menyaksikan putri Firaun mengangkat Musa dari sungai Nil untuk memeliharanya sebagai anaknya. Lantas, secara cerdik ia mencarikan perempuan untuk menyusui Musa yang tidak lain adalah Yokhebed, ibu kandung Musa sendiri supaya Musa mendapat tempat kediaman dengan suasana yang kondusif (Kel. 2:1-10).

Tulisan Alkitab lainnya, menyaksikan bahwa anak diberi ruang untuk mengutarakan pendapat seperti dalam kisah Naaman, seorang anak perempuan Israel yang menjadi pelayan di rumah Naaman. Ia memberi informasi tentang nabi Israel yang dapat menyembuhkan orang-orang kusta. Penyampaian anak perempuan itu diterima baik oleh Naaman, dan ketika ia melakukan apa yang dianjurkan oleh gadis kecil ini serta nabi Elisa, ia mengalami pemulihan.

Tentu, kita juga tidak melupakan tulisan-tulisan bernuansa buram di mana anak-anak mengalami ancaman pada masanya, misalnya anak perempuan Yefta (Hak. 11:30,31); anak-anak yang dipersembahkan kepada berhala yang dipandang sebagai suatu kekejian di mata Tuhan (Ul. 12:29-31); pembunuhan massal terhadap anak-anak di Betlehem dan Rama atas perintah Herodes (Mat. 2:16-18). Kejujuran kisah dalam Alkitab tentu harus direspons secara kritis dan dengan upaya hermeneutik yang tepat, supaya menjadi pembelajaran yang kuat untuk menghindari kekerasan-kekerasan dan ancaman-ancaman yang terjadi terhadap anak-anak.

Source: pixabay.com

Catatan-catatan tersebut di atas, harus dilihat sebagai pendorong yang kuat untuk mengembangkan Teologi Anak. Hal ini perlu dilakukan dengan serius, sebab seperti yang dikemukakan oleh Haryati ada begitu banyaknya ancaman yang dihadapi oleh anak-anak pada zaman digital, di antaranya: adanya konvergensi teknologi dan media, adanya gerakan moralitas baru yang menggeser nilai-nilai kebenaran, munculnya filosofi baru anti agama, kekerasan terhadap anak yang terus terjadi, semakin maraknya pornografi.

Jika terlambat dalam bertindak, maka kita akan kehilangan kesempatan untuk mempersiapkan suatu dunia yang lebih baik dan kondusif. Sebab, apa yang dialami oleh anak-anak sekarang ini yang jumlahnya besar akan turut menentukan arah perjalanan negara dan bangsa ke depan. Haryati menggarisbawahi: ”Siapa yang memegang anak, memegang masa depan.” Jumlah penduduk usia anak di Indonesia dan seluruh dunia adalah yang terbanyak dalam kependudukan, dan oleh sebab itu menjangkau dan melayani anak-anak sama dengan menjangkau dan melayani mayoritas penduduk Indonesia.

Hal ini juga yang disuarakan S.S. Benyamin Lumi yang mengulas pokok ”Anak Dalam Perspektif Hukum”. Beliau menggarisbawahi begitu banyaknya ancaman dan kekerasan yang dihadapi anak-anak masa kini, misalnya: kekerasan fisik, kekerasan psikis (emosional), penelantaran anak, kekerasan sosial, kekerasan oleh media massa, sehingga perlindungan hukum kepada anak-anak dan meningkatkan kesejahteraan sosial dan kesejahteraan anak merupakan tugas yang tak dapat ditunda lagi. Lumi menggarisbawahi tugas untuk melindungi anak adalah mandat undang-undang dan hal ini bukan hanya tugas negara tetapi tugas masyarakat termasuk pimpinan dan warga gereja.

Beberapa Isu Lain yang Menjadi Sumbangan Secara Teologis dari Buku Teologi Anak

Susi Rio Panjaitan, dalam ulasan ”Anak Dalam Budaya” menyimpulkan bahwa perspektif budaya terkait anak akan memengaruhi perilaku terhadap anak. Oleh karena itu, dibutuhkan kajian teologis terhadap nilai-nilai budaya yang diterapkan dalam pengasuhan dan pendidikan terhadap anak. Dalam hal ini, mengembangkan budaya yang menunjukkan keberpihakan kepada anak yang belum terealisasi dengan baik sekarang ini—termasuk dalam gereja, merupakan pekerjaan rumah yang bersifat urgen untuk dilaksanakan termasuk mempersiapkan program-program yang secara konkrit menjelaskan tentang budaya yang berpihak kepada anak.

James Wambraw yang menulis ”Anak Dalam Sekolah” menggarisbawahi dengan tegas hubungan antara keberhasilan pendidikan iman dan keharusan mengikuti pendidikan masa muda. Saya sependapat dengan beliau. Tulisan-tulisan dalam Alkitab menggarisbawahi pentingnya pendidikan dan pengajaran bagi anak-anak (antara lain Ulangan 6 yang selalu dijadikan nas favorit berhubungan dengan hal ini) dan dalam implementasinya harus selalu dikaitkan dengan sistem dan undang-undang pendidikan dan bentuk-bentuk sekolah yang berlaku dan berlangsung dalam masyarakat.

James Wambraw menyebut berbagai bentuk sekolah, misalnya: sekolah yang terkait dengan pendidikan anak baik yang formal dan informal seperti, Sekolah Keluarga, Sekolah Minggu, Sekolah Umum, Sekolah Masyarakat, Sekolah Bangsa, Sekolah Negara, dan Sekolah Hidup. Dari perspektif teologis dapat ditambahkan bahwa apa pun bentuk sekolahnya, apa pun sistem dan undang-undangnya, sekolah itu harus bertujuan pada menambah hikmah, membawa pembebasan, menambah kesejahteraan dan menghasilkan suatu pembaharuan (transformasi).

Photo by Robert Collins on Unsplash

Tornado Gregorius Silitonga yang mengulas pokok ”Anak Dalam Media” menggarisbawahi pentingnya media dan komunikasi serta positifnya sumbangan gawai dan tablet serta internet. Pada pihak lain, digarisbawahi juga akibat negatif apabila anak terlalu tergantung kepada alat-alat komunikasi yang smart dan canggih itu. Secara teologis dapat dipahami bahwa kemajuan teknologi yang ditandai oleh perangkat-perangkat serta komunikasi yang serba cepat dan canggih adalah anugerah Allah bagi manusia.

Karya Allah selalu berhubungan dengan komunikasi antara Allah dan umat-Nya. Sebab itu, Ia mengaruniakan hikmah kepada agar dapat menggunakannya untuk tujuan yang positif dan bertanggung jawab, bukan untuk mematikan kreativitas, menurunkan imajinasi serta relasi yang hangat dengan orang tua dan keluarga.  Sebab itu, menurut Tornado, ketimbang bermusuhan dengan alat-alat canggih tersebut, lebih baik membumikan pelajaran E-learning sehingga semua generasi boleh belajar dan saling membimbing ke arah yang mendatangkan sejahtera. Semua generasi menjadi garam dan terang sehingga tercipta persekutuan yang belajar bersama dan saling membarui.

Hal yang senada diungkap oleh Magyolin Arolina Tuasuun dalam tulisannya ”Anak Dalam Keluarga” bahwa rumah tangga Kristen harus menjadi persekutuan yang didiami Roh anugerah Allah dan menjadi gereja bagi anak-anak. Keluarga Kristen adalah persekutuan yang seharusnya memantulkan kehangatan dan cinta kasih, sehingga anak-anak merasa terlindung dalam persekutuan itu.

Pada akhirnya, M. Nur Widipranoto yang menulis  ”Gerakan Teologi Anak Sebagai Tindakan Komunikatif” menggarisbawahi bahwa gagasan Teologi Anak sebagai tindakan komunikatif bertujuan memahami teologi sebagai praksis komunikasi iman dalam kebersamaan dengan Allah dan anak. Gerakan Teologi anak perlu dilanjutkan dengan mengedepankan tindakan komunikatif yang berdaya partisipatif, transformatif, dan memberdayakan.

Penutup

Demikianlah beberapa catatan yang dapat saya sampaikan dalam acara Bedah Buku Teologi Anak pada hari ini. Semoga bermanfaat. Tuhan memberkati kita semua.

Tomohon, awal April 2019.

Bagikan:
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *