”Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang punya Kerajaan Surga.” (Mat. 5:3).
Apakah makna kalimat ini? Dalam Alkitab BIMK tertera: ”Berbahagialah orang yang merasa tidak berdaya dan hanya bergantung pada Tuhan saja; mereka adalah anggota umat Allah.”
Dalam film ”Quo Vadis”, sang aktris Deborah Kerr harus memerankan adegan berbahaya, yang cukup mendebarkan. Setelah pengambilan gambar, seorang reporter bertanya, ”Apakah Anda tidak takut ketika seekor singa ganas menyerang Anda di arena?”
”Sama sekali tidak,” jawab Deborah, ”Saya sudah baca skenarionya dan saya tahu bahwa saya akan diselamatkan.”
Mark Link, SJ, dalam bukunya Keputusan, menyatakan bahwa inilah kepercayaan khas anak-anak yang dipunyai ”kaum miskin” di masa Yesus hidup.
Kata Ibrani untuk ”kaum miskin” adalah aini. Kata ini menunjuk pada orang-orang miskin yang secara ekonomis dan politis sungguh tak punya harapan lagi. Orang-orang dalam situasi seperti itu akan melepaskan diri dari harta benda dan menggantungkan diri kepada Allah saja.
Orang-orang ”yang miskin di hadapan Allah” disebut Yesus berbahagia karena mereka telah sampai pada kesadaran bahwa mereka tidak dapat lagi menggantungkan diri pada harta benda untuk meraih kebahagiaan sejati. Mereka mencari kebahagiaannya hanya kepada Allah.
Yesus menyebut mereka berbahagia karena Allah adalah Sumber Hidup Sejati. Bergantung penuh kepada Allah sungguh akan membuat hidup seseorang sungguh hidup.
Tentu pemahaman itu tidak mengajak kita untuk diam berpangku tangan. Kita dipanggil untuk terus berusaha dengan tetap memahami bahwa usaha itu pun hanya mungkin karena perkenan Allah.
Selamat bekerja,
Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional