”Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?” (Yoh. 21:15). Demikianlah sapaan Yesus yang bangkit kepada murid yang pernah menyangkal-Nya.
Pertanyaan itu menukik tajam, tepat sasaran, tanpa basa-basi. Yesus mempersoalkan makna terdalam sebuah hubungan: kasih. Jawaban Sang Murid sungguh radikal: ”Benar Tuhan, Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau” (Yoh. 21:15).
Petrus merasa tak cukup hanya menjawab: ”Benar Tuhan.” Tidak. Dia mendasarkan jawabannya pada kemahatahuan Yesus. Dasar jawabannya tidak terletak pada ke-aku-an, tetapi pada diri Yesus sendiri. Dasar jawaban Petrus tidak terletak pada kemauan, bukan pula pada kemampuan diri, melainkan pada ketuhanan Yesus.
Bahkan ketika Sang Guru merasa perlu tiga kali mempertanyakan kasihnya, Petrus tetap pada jawabannya, sekali lagi berdasarkan kemahatahuan Yesus: ”Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau” (Yoh. 21:17).
Menurut Henri J. M. Nouwen, dalam bukunya Dalam Nama Yesus, Permenungan Tentang Kepemimpinan Kristiani, ”Pemimpin Gereja tak cukup hanya bermoral tinggi, terlatih, siap membantu sesama dan mampu menanggapi masalah-masalah hangat pada zamannya secara kreatif. Di atas semuanya itu, pemimpin kristiani adalah orang yang sungguh-sungguh mengasihi Allah.”
Dengan kata lain, lanjut Nouwen, ”Pemimpin kristiani adalah orang yang benar-benar mau tinggal di hadirat Allah dan bersekutu dengan-Nya. Sehingga, visi Allahlah, dan bukan visinya pribadi, yang menjadi dasar dan arah kepemimpinannya.”
Atas semua jawaban itu, Yesus memberi mandat: ”Gembalakanlah domba-domba-Ku.” Cuma dua kata, tetapi melegakan hati. Mandat itu berarti kepercayaan. Yesus tetap memercayainya. Dan bagi Petrus mandat itu berarti karya yang harus dilakukan tanpa syarat.
Pemimpin—juga pemimpin di tempat kerja—adalah gembala bagi orang-orang yang dibawahkan kepadanya. Dan itu hanya mungkin terjadi kala dia sungguh mengasihi Sang Gembala Sejati.
Selamat Bekerja,
Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional