Posted on Tinggalkan komentar

Berawal dari Keprihatinan

Kisah penyembuhan Si Lumpuh di Gerbang Indah (Kis. 3:1-10) berawal dari keprihatinan Petrus dan Yohanes saat menyaksikan Si Lumpuh yang mengemis di Bait Allah. Mereka prihatin karena ada yang tidak indah di Gerbang Indah itu.
Yang tidak indah itu ialah keberadaan Si Lumpuh.

Lukas tidak mencatat nama orang tersebut, tetapi dia menyatakan bahwa orang itu lumpuh sejak lahirnya. Inilah kenyataannya: di Gerbang Indah itu ada yang tidak indah.

Ada yang kurang di Gerbang Indah itu. Dan Petrus berusaha untuk mengisi kekurangan itu. Di sini memang dibutuhkan kepekaan. Kepekaan untuk memperhatikan ada yang kurang, ada yang tidak indah di Gerbang Indah itu.

Kepekaan untuk melihat senjang antara apa yang ada dan apa yang sebaiknya; antara fakta dan cita-cita; antara kenyataan dan impian. Dan dari kepekaan itulah timbul keprihatinan.
Keprihatinan kedua murid Yesus memang tidak berhenti pada keprihatinan. Mereka ingin mengubah impian menjadi kenyataan. Dan itulah yang dilakukan. Keprihatinan itu tersirat dalam kalimat: ”Emas dan perak tidak ada padaku, tetapi apa yang kupunyai, kuberikan kepadamu: Demi nama Yesus Kristus, orang Nazaret itu, berjalanlah!” (Kis. 3:6).

Mereka tak memiliki apa yang dibutuhkan pengemis itu. Mereka tak punya uang sebagai sedekah. Namun, yang mereka memiliki jauh lebih berharga dari uang. Mereka memiliki Yesus, yang bangkit dari antara orang mati. Mereka telah merasakan kebangkitan Yesus dalam diri mereka. Dan mereka ingin Si Lumpuh juga mengalami kebangkitan Yesus itu dalam dirinya.

Tuhan menjawab keprihatinan mereka. Si Lumpuh berjalan. Di Gerbang Indah itu tak ada lagi orang yang teronggok karena lumpuh. Di Gerbang Indah itu tak ada lagi yang tidak indah. Dan Gerbang Indah itu pun menjadi sungguh-sungguh indah, tak lagi sekadar sebutan. Dan semuanya itu berawal dari keprihatinan. Keprihatinan yang muncul karena kepekaan melihat dunia sekitar.

H.A. Oppusunggu—guru editorial saya—sering berujar, ”Modal terbesar sebuah perusahaan bukanlah uang, tetapi keprihatinan.” Dalam keprihatinannya, Pak Oppu, pada era 90-an, setiap tahunnya mengumpulkan sekitar 20 orang generasi muda untuk dididik menjadi editor selama sembilan bulan.

Pak Oppu tidak sekadar prihatin akan kelangkaan komunikator Kristen. Dia bertindak dengan mendidik orang muda. Dan saya merupakan bukti nyata—sekaligus buah—dari keprihatinannya.

Selamat bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Bagikan:
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *