(Luk. 10:30-37)
Kisah ”Orang Samaria yang Murah Hati” mendorong kita untuk bertanya dalam hati: ”Siapakah Subjeknya: yang ditolong atau yang menolong?” Sesungguhnya di sinilah persoalan banyak orang. Mereka menjadikan diri sendiri sebagai subjek ketika hendak memberikan pertolongan, dan lupa menjadikan pihak yang ditolong sebagai subjek. Akhirnya, pertolongan yang diberi malah tidak bebas pamrih. Bahkan, mungkin tergoda untuk mendapatkan balasan dari orang yang ditolong.
Perhatikan tindakan orang Samaria itu! Orang Samaria itu menjadikan orang yang ditolongnya sebagai subjek. Semua perhatian dicurahkan penuh. Pertama, dia pergi kepada orang yang terluka itu. Kenyataan bahwa orang Yahudi menganggap diri umat pilihan tidak menjadi halangan bagi dia untuk menolong. Mengapa? Karena subjeknya adalah orang yang ditimpa kemalangan itu. Mungkin ini jugalah soal kita; kala menolong kita tergoda untuk memilah dan memilih orang yang hendak kita tolong.
Kedua, orang Samaria itu fokus pada luka-luka orang tersebut. Dia memfokuskan perhatian pada kebutuhan orang Yahudi itu. Itu juga terlihat ketika dia mengangkat korban ke keledai tunggangannya sendiri. Dia mengizinkan orang yang terluka itu menaiki tunggangannya sendiri.
Ketiga, dia melakukannya hingga tuntas. Dia tidak setengah hati. Bahkan memberikan dua dinar, upah pekerja kasar selama selama dua hari. Uang itu sepertinya cukup untuk makan dan minum orang Yahudi itu. Bahkan, orang Samaria itu bersedia menggantikannya jika memang kurang. Bisa jadi orang Samaria itu cukup dikenal, sehingga pemilik penginapan pun percaya kepada.
Keempat, yang juga menarik, orang Samaria itu mengajak pemilik penginapan untuk bersama-sama terlibat dalam melakukan kebaikan. Dia mengajak orang terlibat dalam melakukan pekerjaan baik. Semua itu hanya mungkin dia lakukan ketika menjadikan orang yang terluka itu sebagai subjek.
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional