(Ayb. 1:1-5)
Kitab Ayub dimulai dengan kalimat: ”Ada seorang laki-laki di tanah Us bernama Ayub; orang itu saleh dan jujur; ia takut akan Allah dan menjauhi kejahatan.” Kalimatnya sederhana. Sang penulis memperlihatkan Ayub sebagai pribadi yang saleh dan jujur. Kesalehan dan kejujuran itu bukan karena dia penganut paham humanisme, tetapi karena dia memang pribadi yang takut akan Allah. Dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini tertera: ”Ia menyembah Allah dan setia kepada-Nya.”
Meski hingga kini kita tak pernah tahu di mana letaknya tanah Us itu, diceritakan bahwa Ayub adalah orang terkaya dari semua orang di sebelah timur. Ia memiliki tujuh anak laki-laki dan tiga anak perempuan. Pada zaman purba, menurut Alkitab Edisi Studi, angka ”tujuh” dan ”tiga” dianggap sempurna atau lengkap. Ia memiliki 7.000 ekor kambing domba, 3.000 ekor unta, 500 pasang lembu, 500 keledai betina, dan budak-budak dalam jumlah yang sangat besar. Angka-angka ini menggambarkan bahwa kehidupan Ayub serba sempurna dan lengkap.
Menarik diperhatikan, sepertinya Ayub adalah pribadi yang tidak menganggap bahwa semua miliknya adalah hasil kerja kerasnya semata. Dia tampaknya memahami bahwa semua yang dimilikinya adalah anugerah Allah. Sehingga dia merasa harus senantiasa dalam keadaan bersih di hadapan Allah. Tidak hanya dirinya, tetapi seluruh anggota keluarganya. Karena itu, Ayub merasa perlu mempersembahkan kurban bakaran—mohon pengampunan Allah—bagi anak-anaknya. Alasannya, dalam ayat lima, ”Mungkin anak-anakku sudah berbuat dosa dan telah mengutuki Allah di dalam hati.”
Standar Ayub memang tinggi. Dia ingin anak-anaknya senantiasa dalam keadaan bersih diri—lahir dan batin. Itulah yang dipuji Allah. Namun, itu jugalah yang hendak disangkal Iblis. Sejatinya Kitab Ayub merupakan perang gagasan antara Allah dan Iblis.
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional