Posted on Tinggalkan komentar

Nasib Semua Orang Sama

(Pengkhotbah 9:1-6)

Dalam ayat 2-3 sang pemikir menyimpulkan: ”Segala sesuatu sama bagi sekalian; nasib orang sama: baik orang yang benar maupun orang yang fasik, orang yang baik maupun orang yang jahat, orang yang tahir maupun orang yang najis, orang yang mempersembahkan korban maupun yang tidak mempersembahkan korban. Sebagaimana orang yang baik, begitu pula orang yang berdosa; sebagaimana orang yang bersumpah, begitu pula orang yang takut untuk bersumpah. Inilah yang celaka dalam segala sesuatu yang terjadi di bawah matahari; nasib semua orang sama. Hati anak-anak manusia pun penuh dengan kejahatan, dan kebebalan ada dalam hati mereka seumur hidup, dan kemudian mereka menuju alam orang mati.”

Kesimpulan sang pemikir—bahwa nasib semua orang sama, yaitu sama-sama mati—dapat dibenarkan, tetapi tidak seluruhnya benar. Yang tidak boleh kita lupa, konsep ”kehidupan di bawah matahari” adalah kehidupan di luar Allah. Karena itu, sang pemikir memang tidak menyertakan kemungkinan adanya kehidupan pascakematian. Jika dia menyertakan kehidupan pascakematian dalam alur pikirnya, bisa dipastikan bahwa nasib semua orang pasti tak sama.

Namun demikian, sang pemikir benar ketika menyatakan pendapatnya pada ayat 4 Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini: ”Tetapi selama hayat di kandung badan, selama itu ada harapan. Bukankah anjing yang hidup lebih bahagia daripada singa yang tak bernyawa?”

Hidup memang lebih berharga daripada mati. Karena orang hidup masih punya harapan—harapan untuk memperbaiki keadaan, juga harapan untuk bertobat. Sehingga sengsara di dunia kini tak perlu dibawa terus ke akhirat sana. Yang paling celaka adalah sudah sengsara di dunia, masih sengsara di akhirat.

SMaNGaT,

Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional

Foto: Istimewa

Bagikan:
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *