Posted on Tinggalkan komentar

Mengubah Pusat Perhatian

(Luk. 8:40-56)

Semasa hidup Ibu Teresa dari Kolkata pernah berkata, ”Perhatian adalah awal kesucian besar. Bila Saudara belajar untuk memperhatikan kepentingan orang lain, Saudara akan makin menyerupai Kristus. Karena hati-Nya lembut, selalu memikirkan kebutuhan orang lain. Ia berkeliling sambil berbuat baik.”

Sang Guru dari Nazaret itu sedang naik daun. Di mana pun Dia menjadi pusat perhatian. Penulis mencatat: ”Sesudah Yesus menyeberang lagi dengan perahu, orang banyak berbondong-bondong datang lalu mengerumuni Dia” (Mrk. 5:21).

Ya, orang berbondong-bondong, bak laron mengerubungi lampu. Mereka berdesak-desakkan di sekitar Yesus. Mereka ingin dekat dengan Yesus. Motivasinya tentu beragam. Yang pasti Yesus menjadi pusat perhatian. Yesus, sang guru dari Nazaret itu, menjadi pusat.

Namun, keadaan itu tak berlangsung lama. Yesus—yang menjadi pusat perhatian—malah mengarahkan perhatian-Nya kepada Yairus dan perempuan yang sakit pendarahan. Secara tidak langsung, Yesus juga mengajak orang-orang yang berkerumun di sekitar-Nya itu untuk mengubah pusat perhatian mereka.

Anak Yairus dalam kondisi kritis. Keadaan itulah yang membuat dia sengaja menemui Yesus. Di hadapan Yesus, sembari tersungkur, Yairus, kepala rumah ibadah, memohon Yesus datang ke rumahnya untuk menyembuhkan putrinya yang berumur 12 tahun. Sang Guru pun meluluskan permohonannya. Bagi Yesus, puteri Yairus merupakan prioritas utama saat itu.

Namun, di tengah perjalanan rombongan itu terpaksa berhenti karena Yesus merasa ada yang ”mencuri” kuasanya. Dan sang pencuri adalah perempuan yang sakit pendarahan selama dua belas tahun. Perempuan itu tak punya keberanian untuk minta tolong. Dia percaya, hanya dengan menjamah jubah Yesus saja dia akan sembuh.

Hanya saja, anak Yairus ternyata telah mati ketika mereka sampai ke rumah Yairus. Bisa jadi Yairus kecewa. Kalau saja tidak ada interupsi di tengah jalan, tentu anaknya selamat. Dan pada titik itu, sebelum kekecewaannya bertambah besar, Yesus menenangkannya, ”Jangan takut, percaya saja!” Dan anaknya selamat.

Kemungkinan besar, Yairus belajar untuk tidak bersikap egois. Yesus memang peduli dengannya. Namun, dia tidak mungkin memonopoli kasih Allah hanya untuk dirinya sendiri. Kasih Allah memang untuk setiap orang.

Yairus agaknya juga belajar untuk mengubah perhatian dari diri sendiri kepada orang lain. Kesulitan hidup tidak boleh menjadi alasan untuk tidak memperhatikan orang lain.

Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional

Bagikan:
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *