(Luk. 9:10-17)
”Kamu harus memberi mereka makan!” Demikianlah tanggapan Yesus terhadap usul para murid-Nya. Usul mereka bukan sembarang usul. Usul itu lahir dari kepedulian.
Lukas mencatat: ”Pada waktu hari mulai malam datanglah kedua belas murid-Nya kepada-Nya dan berkata, ’Suruhlah orang banyak itu pergi, supaya mereka pergi ke desa-desa dan kampung-kampung sekitar ini untuk mencari tempat penginapan dan makanan, karena di sini kita berada di tempat yang terpencil.’”
Jelas, para murid tidak memikirkan diri mereka sendiri. Mereka ingin berbuat sesuatu. Bisa jadi mereka pun ingin berbagi. Tak heran dengan cepat mereka merespons bahwa yang ada pada mereka tidak lebih dari lima roti dan dua ikan. Mereka tahu kondisi mereka—mau, namun tak mampu. Dan karena peduli, mereka memberi usul logis—sebelum malam sungguh tiba dan warung-warung mulai tutup—massa itu dibubarkan saja agar mereka bisa mendapatkan makanan.
Bukankah ini kenyataan hidup manusia? Ada kerinduan sekaligus keterbatasan. Dan keterbatasan itulah yang membuat manusia akhirnya mengurungkan niat baik itu. Tampaknya, kita, para murid abad XXI, pun mesti hati-hati dengan pengetahuan, juga logika kita. Apa yang mau diberi jika untuk diri kita saja kurang? Sesungguhnya ini bukanlah sikap dan tindakan orang-orang yang mau belajar hidup dalam Kerajaan Allah.
Kerajaan Allah bukanlah sekadar tempat atau wilayah. Kerajaan Allah lebih merupakan sikap batin dan tindakan yang mengakui hanya ada satu Raja—yaitu Allah—dan semua yang lainnya hamba. Itu berarti juga semua yang ada dalam kerajaan itu adalah milik Allah semata.
Mungkin di sinilah persoalan para murid. Dalam konsep Kerajaan Allah, lima roti dan dua ikan itu pun milik Allah. Mereka hanyalah orang yang dititipi lima roti dan dua ikan. Dan benar, ketika mereka rela mempersembahkan apa yang sejatinya milik Allah, mukjizat pun terjadi.
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional