”Ya Allah, bangsa-bangsa lain telah masuk ke dalam tanah milik-Mu, menajiskan bait kudus-Mu, membuat Yerusalem menjadi timbunan puing. Mereka memberikan mayat hamba-hamba-Mu sebagai makanan kepada burung-burung di udara, daging orang-orang yang Kaukasihi kepada binatang-binatang liar di bumi. Mereka menumpahkan darah orang-orang itu seperti air sekeliling Yerusalem, dan tidak ada yang menguburkan. Kami menjadi cela bagi tetangga-tetangga kami, menjadi olok-olok dan cemooh bagi orang-orang sekeliling kami” (Mzm. 79:1-4).
Demikianlah Asaf memulai mazmurnya. Situasinya sunggguh kritis. Dan persoalan terbesar Israel bukanlah agresi itu, tetapi kenyataan bahwa mereka menjadi bahan cemoohan bangsa-bangsa lain. Pada ayat 10 Asaf bertanya dalam mazmurnya: ”Mengapa bangsa-bangsa lain boleh berkata: ’Di mana Allah mereka?’”
Pada pemahaman masa itu setiap bangsa memiliki ilah. Sehingga bangsa yang kalah perang bisa diartikan bahwa ilahnya tak sanggup membela. Sehingga wajar jika Asaf dalam ayat 9 berseru, ”Tolonglah kami, ya Allah penyelamat kami, demi kemuliaan nama-Mu! Lepaskanlah kami dan ampunilah dosa kami oleh karena nama-Mu!” Alasan terkuat—mungkin satu-satunya alasan—Asaf meminta pertolongan Allah adalah demi kemuliaan Allah sendiri.
Di tengah pandemi COVID-19 ini entah sudah berapa lama dan berapa banyak kita berseru kepada Allah. Mungkin yang perlu kita telaah adalah alasan seruan kita itu—demi kemuliaan diri sendiri atau kemuliaan Allah semata?
SMaNGaT,
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional
Foto: Aaron Burden