”Berbahagialah orang yang diampuni pelanggarannya, yang dosanya ditutupi! Berbahagialah manusia, yang kesalahannya tidak diperhitungkan TUHAN, dan yang tidak berjiwa penipu!” Demikianlah Daud memulai Nyanyian Pengajaran yang terekam dalam Mazmur 32.
Daud memang pernah mengalami apa artinya diampuni. Bayangkan jika Tuhan membuang Daud! Gelar Anak Daud untuk Yesus Orang Nazaret mungkin tak pernah ada. Namun, inilah Injil itu: Allah tidak membuang Daud.
Dosa Daud tidak kecil. Perzinaan dengan Betsyeba, membuat dia mengingini milik sesamanya, berdusta, membunuh, dan mencuri istri orang lain. Daud semestinya mati. Akan tetapi—inilah anugerah itu—dia hidup.
Sejatinya kehidupan Daud inilah yang memungkinkan kita berani mengakui dosa kita di hadapan Allah. Mengapa? Karena kita punya contohnya: Daud, leluhur Tuhan kita Yesus Kristus.
Akan tetapi, pengampunan dosa tidaklah terjadi secara otomatis. Pengampunan hanya dialamatkan kepada orang yang menyatakan kesalahannya kepada Allah. Daud mengakui: ”Selama aku tidak mengakui dosaku, aku merana karena mengaduh sepanjang hari” (Mzm. 32:3, BIMK).
Selama menyembunyikan dosanya—meski semuanya tampak baik-baik saja—toh Daud senantiasa gelisah. Ia takut ketahuan. Dan karena itu, ia berusaha menutupi kesalahannya. Caranya: dengan berbuat dosa lagi, dan lagi, dan lagi. Dosa pun makin beranak pinak.
Untuk menghentikan semuanya itu, Daud menetapkan hati: ”Lalu aku mengakui dosaku kepada-Mu, kesalahanku tak ada yang kusembunyikan. Aku memutuskan untuk mengakuinya kepada-Mu, dan Engkau mengampuni semua dosaku” (Mzm. 32:5, BIMK). Itulah yang dilakukan Daud. Ia tidak menyangkal ketika Nabi Natan menyatakan kesalahannya.
Namun demikian, pengampunan dosa tidak membuat kita steril dari kecenderungan berbuat dosa. Dan ketika ada godaan menerpa—juga dalam pandemi ini—kita bisa berkata dalam diri, ”Berbahagialah orang yang diampuni pelanggarannya, yang dosanya ditutupi.” Keinginan untuk tetap bahagia mungkin akan menolong kita untuk tidak menjatuhkan diri dalam pencobaan.
SMaNGaT,
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional