Posted on Tinggalkan komentar

Curhat Si Sulung

(Luk. 15:29-30)

”Lihatlah, telah bertahun-tahun aku melayani Bapa dan belum pernah aku melanggar perintah Bapa, tetapi kepadaku belum pernah Bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. Tetapi baru saja datang anak Bapa yang telah memboroskan harta kekayaan Bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka Bapa menyembelih anak lembu yang gemuk itu untuk dia.”

Demikianlah curhat si Sulung. Menurut Jirair Tashjian, yang mengutip Kenneth E. Bailey, si Sulung lebih menganggap dirinya sebagai budak yang bekerja pada Sang Bapa, ketimbang anak yang diberi kepercayaan memelihara harta ayahnya. Tampaknya dia lebih suka menjadikan dirinya budak ketimbang anak.

Alasan budak melayani tanpa syarat bukanlah kasih. Sebagai budak, hidupnya terus dibayangi rasa was-was, takut kalau-kalau pelayanannya tidak menyenangkan sang tuan. Sulitlah mengharap kreatifitas dalam dirinya karena dia selalu takut salah.

Si Sulung menyatakan bahwa ayahnya tak pernah memberikan seekor anak kambing kepada dirinya. Agaknya dia lupa, sebagai anak dia memiliki segala sesuatu. Dia ingin anak kambing yang dapat disembelih dan dijadikan modal pesta dengan sahabat-sahabatnya. Jelas dia menganggap orang-orang dalam rumahnya bukan sahabatnya. Jika dia menyelenggarakan pesta, maka dia hanya ingin menyelenggarakannya bersama dengan para sahabatnya.

Si Sulung menyebut saudaranya ”anak Bapa”. Dia tidak menyebut saudaranya ”adikku”. Itu berarti dia tidak menganggap Si Bungsu sebagai saudaranya. Absurd memang, bagaimana mungkin menyebut seseorang sebagai anak bapaknya, tetapi tidak menganggapnya sebagai adik? Sejatinya, ini hanya terjadi pada hubungan saudara tiri?

Kemudian si Sulung menyatakan bahwa saudaranya telah menghambur-hamburkan harta ayahnya. Ini jelas memperlihatkan bahwa ia lebih baik ketimbang adiknya. Si Sulung membuat cerita yang membuatnya adiknya tampak lebih buruk ketimbang dirinya.

Di atas semuanya itu, jelaslah si Sulung merasa diperlakukan tidak adil. Dan karena itu dia tidak mau masuk rumah, yang bagi dia telah menjadi sarang ketidakadilan.

Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional

Bagikan:
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *