(Luk. 19:28-30)
”Pergilah ke desa yang di depanmu itu: Pada waktu kamu masuk di situ, kamu akan mendapati seekor keledai muda tertambat, yang belum pernah ditunggangi orang. Lepaskanlah keledai itu dan bawalah ke mari.” Demikianlah perintah Yesus kepada dua orang murid-Nya. Mereka diminta untuk membawa keledai yang akan menjadi tunggangan Yesus saat memasuki Yerusalem.
Ketika mendengar kata ”keledai”, mungkin yang tergambar dalam benak kita ialah binatang lamban, lemah, bahkan bodoh. Gambaran itu tidak sepenuhnya salah.
Dari segi kecepatan, Keledai (Equus asinus) memang tak bisa disamakan dengan kuda (Equus caballus), meski keduanya satu genus. Dalam mekanika dikenal istilah ”tenaga kuda” yang merupakan ukuran kemampuan mesin. Tak ada istilah ”tenaga keledai”. ”Pacuan kuda”—yang sering menjadi ajang judi— juga lebih lazim terdengar ketimbang ”pacuan keledai”. Keledai memang tak seagresif kuda. Jalannya lambat. Saking lambatnya terkesan malas. Tak punya inisiatif.
Kita punya peribahasa ”Seperti keledai”. Artinya: bodoh atau keras kepala. Ada lagi peribahasa ”Keledai hendak dijadikan kuda.” Artinya: orang bodoh hendak dipandang sebagai orang pandai. Dalam kedua peribahasa itu, keledai dipandang sebagai binatang bodoh. Tak heran, banyak orang tersinggung kala dijuluki: ”keledai”.
Namun, jangan pula kita lupa, ada peribahasa baik tentang keledai: ”Keledai tidak akan jatuh ke dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya.” Peribahasa itu berarti sebodoh-bodohnya keledai, binatang itu toh belajar dari pengalaman.
Kegagalan dijadikannya pelajaran agar tidak terulang lagi. Keledai belajar dari sejarah. Anehnya, manusia (Homo Sapiens ’manusia yang berpikir’) malah sering mengulangi kesalahan yang sama. Manusia agaknya perlu belajar dari keledai perihal memetik kearifan masa lampau.
Hanya itukah? Tidak. Keledai merupakan binatang pekerja berat. Dia bukan pemalas. Jalannya memang lambat, tetapi semua tugas dituntaskannya. Keledai jelas mempunyai ketahanan kerja tinggi.
Aton, bahasa Ibrani untuk keledai, mengacu pada daya tahannya. Dalam sehari keledai sanggup berjalan sejauh 30 kilometer. Meski lambat, keledai konsisten menjalani panggilannya. Dia tidak pernah mutung.
Pada titik ini agaknya kita, orang percaya Abad XXI, perlu belajar banyak dari seekor keledai.
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional