(Lukas 5:12-16)
“Tuan, jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku” (Luk. 5:12). Demikianlah permohonan seorang yang berpenyakit kusta. Kita tidak tahu nama orang itu. Dia juga tidak secara langsung meminta Sang Guru dari Nazaret itu untuk menyembuhkannya. Namun, tersirat dia memercayai bahwa Sang Guru dari Nazaret memang punya kemampuan.
Tampaknya orang tersebut paham perlunya membedakan antara kemauan dan kemampuan. Ada orang yang mau, tetapi tidak mampu. Meminta tolong kepada orang macam begini akan membuat dia frustrasi. Namun, ada juga orang yang mampu, tetapi tidak mau. Nah, minta tolong kepada orang macam begini, giliran kita yang frustrasi.
Orang berpenyakit kusta itu percaya Yesus mampu menahirkannya. Hanya persoalannya, apakah Sang Guru dari Nazaret itu mau menyembuhkannya. Mungkin, karena itulah, dia—mungkin karena takut kecewa— menyatakan kalimat itu: ”Jika Tuan mau, Tuan dapat menahirkan aku.”
Menarik disimak, Yesus menanggapinya dengan menyentuh orang berpenyakit kusta itu. Tindakan itu pasti mengagetkan. Dengan demikian, Yesus merisikokan diri-Nya untuk menjadi najis. Pada masa itu, orang yang berpenyakit kusta dianggap najis. Dan yang menyentuhnya ikut-ikutan najis. Jadi, Yesus bersedia menjadi najis.
Tak hanya itu, Yesus berkata, ”Aku mau, jadilah engkau tahir.” Yesus tidak hanya mampu, juga mau. Orang itu pun menjadi tahir. Belas kasihan Yesus membuat Yesus menyentuhnya. Sentuhan itu sifatnya personal. Sentuhan mematahkan jarak. Dan itu bukti kasih-Nya.
Sedikit tanya: Apakah Yesus menjadi najis? Pasti tidak. Kan orang itu sudah sembuh!
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional