Asaf memulai Mazmur 77 dengan ikhtiar: ”Aku mau berseru-seru dengan nyaring kepada Allah, dengan nyaring kepada Allah, supaya Ia mendengarkan aku. Pada hari kesusahanku aku mencari Tuhan; malam-malam tanganku terulur dan tidak menjadi lesu, jiwaku enggan dihiburkan. Apabila aku mengingat Allah, maka aku mengerang, apabila aku merenung, makin lemah lesulah semangatku.”
Berseru-seru dengan nyaring memperlihatkan bahwa Asaf sungguh menyadari, Allahlah satu-satunya tempatnya bersandar. Sehingga dia terus berseru dengan suara nyaring, supaya Allah mendengarkannya.
Mungkin kita bertanya, mengapa harus berseru dengan suara nyaring? Bukankah Allah pasti mendengar? Bahkan jeritan dalam hati pun Allah mendengarnya.
Itu benar. Akan tetapi, tampaknya bagi Asaf, terus berseru dengan suara nyaring merupakan ekspresi ketergantungan total kepada Allah. Asaf insaf Allah adalah satu-satunya sumber pertolongan baginya.
Dan ketika pertolongan tak kunjung tiba, inilah yang dilakukan Asaf, ”Aku mau mengingat perbuatan-perbuatan-Mu TUHAN, mengenang keajaiban-keajaiban-Mu di zaman dahulu. Aku mau merenungkan segala yang Kaulakukan, dan memikirkan karya-karya-Mu yang hebat” (Mzm. 77:12-13, BIMK).
Mengenang karya Allah pada masa lampau merupakan cara jitu karena Allah tak berubah. Juga kasih-Nya. Kalau pertolongan-Nya belum datang-datang juga, itu cuma perkara waktu. Sebab Allah itu baik. Dan Ia senantiasa baik. Juga di tengah pandemi COVID-19 ini.
Oleh karena itu, mari kita berseru-seru!
SMaNGaT,
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional
Foto: Istimewa