Siapakah aku? Demikianlah pertanyaan manusia sepanjang abad. Itu jugalah pertanyaan Daud: ”Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya” (Mzm. 8:4-5).
Dengan rumusan tanya itu, Daud melihat manusia dalam relasinya dengan Allah. Manusia tidak dilihatnya sebagai pribadi otonom—lepas dari Allah; tetapi sebagai pribadi yang diingat dan diindahkan Allah. Dan karena itulah, Daud mengaku dalam refrein, ”Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi!” (Mzm. 8:2, 10).
Itu jugalah yang ditekankan Henk ten Brinke, dkk. dalam bukunya Kaya Roh: Hidup oleh Roh, Berada dalam Kristus. Penulis menekankan adanya kaitan antara iman dan relasi. Beriman berarti memercayakan diri. Dan memercayakan diri mensyaratkan adanya relasi.
Allah adalah Pribadi yang selalu membuka jalan. Kalimat tanya ”Di manakah Engkau?” (Kej. 3:9) menegaskan kerinduan Allah untuk terus bergaul akrab dengan manusia. Dosa adalah situasi di mana manusia merenggut dirinya sendiri lepas dari Allah. Dan hingga kini Allah terus menyapa manusia karena itulah hakikat penciptaan manusia—persekutuan antara Allah dan manusia.
Pada titik ini juga relasi dengan Allah lebih signifikan ketimbang pengalaman iman. Persoalannya, manusia kadang lebih menekankan suatu peristiwa yang wah dan adikodrati, yang akhirnya malah menjerumuskannya dalam jurang kesombongan rohani. Padahal semua peristiwa itu sejatinya berkat Allah semata.
Nah, sekarang pilih mana: Allah atau berkat-berkat Allah?
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional