Dalam Mazmur 113, setelah seruan ”haleluya”, penyair mengajak: ”Pujilah, hai hamba-hamba TUHAN, pujilah nama TUHAN! Kiranya nama TUHAN dimasyhurkan, sekarang ini dan selama-lamanya. Dari terbitnya sampai kepada terbenamnya matahari terpujilah nama TUHAN.”
Ini merupakan ajakan yang logis. Hamba niscaya memuji tuannya. Mengapa? Karena sejatinya hidup dan kehidupan seorang hamba memang ada dalam kemurahan sang tuan. Dalam budaya masa itu, hidup dan mati seorang hamba ada di tangan tuannya. Jadi, aneh rasanya jika ada hamba yang merasa lebih hebat, atau malah membenci tuannya.
Tak beda dengan umat Israel yang telah dibebaskan dari perbudakan di Mesir. Itu berarti hidup dan kehidupan Israel memang ada di tangan Allah. Apalagi, jika kita mengingat bahwa Allah yang mencukupkan kebutuhan umat dalam perjalanan dari Mesir ke Kanaan, serta menyediakan tanah bagi umat-Nya.
Itu sama halnya dengan hidup seorang Kristen. Setiap Kristen telah dibebaskan melalui kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Itu berarti setiap Kristen telah menjadi milik Kristus. Itu berarti, pujian kepada Allah di dalam Kristus pun merupakan keniscayaan. Tak memuji Dia, terlebih membenci Dia, sungguh tidak masuk akal.
Penyair bersaksi pada pada ayat 5-6: ”Siapakah seperti TUHAN, Allah kita, yang diam di tempat yang tinggi, yang merendahkan diri untuk melihat ke langit dan ke bumi?” Tentu jawabannya tidak ada.
Jika diterapkan dalam Perjanjian Baru, kalimatnya bisa seperti ini: ”Siapakah seperti Yesus—Allah yang menjadi manusia—yang rela menyerahkan nyawa-Nya sebagai kurban penebus dosa? Jawabannya: tentu juga tidak ada.
Sehingga tindakan memuji Allah bagi setiap Kristen merupakan hal yang wajar. Yang enggak wajar adalah ketika kita merasakannya sebagai beban. Terlebih di tengah pandemi ini.
SMaNGaT,
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional
Foto: Guillaume de Germain